Prasejarah
Beberapa
kerajaan mulai terbentuk dan memerintah tanah Batak sejak tahun 1000 SM di
Sianjur Mula-mula tepatnya di kaki bukit Pusuk Buhit. Kumpulan
kerajaan-kerajaan huta ini berkumpul dalam persemakmuran kerajaan Batak. Mereka
ini merupakan turunan dari kubu Tatea Bulan.
Menurut
Uli Kozok, dalam Aschim Sibeth, The Batak, di tanah Batak telah bermukim
kelompok manusia pemburu, nomadic hunters, di zaman Palaeolithic. Namun ledakan
gunung toba sekitar 75.000 tahun yang lalu telah mengganggu habitat mereka.
Ledakan tersebut mengeluarkan lava dan magma sampai ke Sri Langka dan Selat
Bengal.
30.000 tahun yang lalu, penduduk pulau ini digoncang dengan ledakan yang kedua. Ledakan tersebut mengakibatkan terbentuknya pulau Samosir di bekas danau ledakan pertama yang disebut Tao Toba. (baca : Ternyata, Ledakan Gunung Toba Terdahsyat Dalam Sejarah).
Di
pantai timur Sumatera, Heaps of Seashells yang besar berdiameter 30 m dan dan
dalamnya 5 m telah ditemukan. Peralatan ini sama fungsinya dengan yang
ditemukan di Vietnam dan Malaysia. Ini adalah bukti untuk mengetahui kebiasaan
makan populasi zaman batu saat itu; pemburu, pengumpul dan para nelayan yang
disebut budaya Hoabinh.
Juga
diketahui bahwa orang-orang zaman batu tersebut hanya memiliki sedikit
persamaan tubuh dengan penghuni Indonesia yang sekarang. Mereka masuk dalam
katagori Ras Australoid yang menjadi penghuni pertama Indonesia, Melanesia
sampai Australia. Berkulit gelap namun tidak terlalu hitam, rambut keriting,
bibir tebal dan pendek. Mereka inilah yang menjadi populasi asli tanah Toba. Si
Raja Batak yang menjadi leluhur Bangsa Batak diyakini merupakan imigran dari
daerah Burma atau Siam.
Berbeda
dengan sebagain besar populasi Indonesia yang merupakan berasal dari Ras
Mongoloid keturunan Cina Selatan yang bermigrasi. Diyakini pengaruh mongolid
juga mencapai daerah Batak di awal-awal Masehi.
Beberapa
suku di Sumatera seperti Aceh dan melayu belum sampai ke Indonesia sebelum abad
ke-2 Masehi. Sedangkan nenek moyang Batak nampaknya telah tinggal di pegunungan
Sumaetra Utara sejak lama, makanya mereka lebih berparas Australoid. Demikian
Uli Kozok
Beberapa
keturunan Si Raja Batak mendirikan kerajaan-kerajaan huta, salah satunya
Kerajaan Hatorusan. Kerajaan Hatorusan, didirikan oleh Raja Uti putra Tatea
Bulan, mulai membangun tatanan hidup masyarakat dengan sistem negara teokrasi.
Raja Uti alias Raja Biak-biak merupakan seorang intelektual.
Guru
Tatea Bulan atau disebut juga Toga Datu pernah pergi menemui pamannya (Saudara
dari Ibunya) di Siam. Dia bermaksud meminang paribannya, putri sang
Paman/Tulang. Tapi rencananya tidak berhasil, tidak disebutkan alasannya.
Ketika dia kembali ke kampung halaman, Sianjur Mulamula, dia terkejut dan
sangat sedih menemukan kampung halaman yang ditinggalkannya telah kosong.
Ayahnya, Si Raja Batak telah meninggal dunia.
Sementara
itu, adiknya, Raja Isumbaon telah pindah ke Dolok Pusuk Buhit dekat dengan
Pangururan sekarang ini. Adik bungsunya Toga Laut mengembara dan membuka
wilayah yang sekarang masuk ke Aceh dan bernama Gayo/Alas.
Dia
berinisiatif untuk menemui adiknya; Raja Isumbaon. Di sana dia menetap
sementara dan kemudian kembali ke Sianjur Mula-mula, tempat lahirnya. Dia
berusaha bangkit dari kepedihan hidupnya tersebut dengan menghabiskan waktunya
dengan berkontemplasi dan bekerja; bercocok tanam di sawah. Pada saat-saat
itulah dia bertemu dengan seorang wanita pendatang, yang kesasar, dan mengaku
bernama Boru Sibasoburning Guru. Sibasoburning mempunyai bahasa yang berbeda
dengan bahasa Batak.
Hati
tertarik, mungkin sudah jodoh, keduanya menikah. Hasilnya adalah anak pertama
raja Miok-miok yang disebut sebagai Raja Gumelleng-gelleng, disebut juga raja
Miok-miok atau Biak-biak dengan gelar Raja Uti.
Lahir
dengan kondisi cacat, dengan tangan dan kaki yang lebih pendek dari ukuran
normal bukan menjadi halangan untuk melakoni hidupnya sebagai mana layaknya.
Teknologi metalurgi diduga sudah berkembang dan lazim digunakan di masanya.
Raja Uti mempunyai daya pikir dan kreatifitas yang luar biasa dibandingkan anak
normal. Beberapa alat diciptakannya untuk mengatasi keterbatasan cacat
tubuhnya. Dia berhasil merangkai kain dengan kayu ringan seperti layang-layang
besar yang membuatnya dapat bergelantungan saat layang-layang tersebut terbang.
Legenda sekarang ini mengatakan bahwa Raja Uti mempunyai sayap dan dapat
terbang karena kesaktiannya.
Masyarakat
Toga Tatea Bulan saat itu merupakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini diyakini
karena Guru Tatea Bulan yang juga seorang raja dengan gelar Raja Ilontungan
merupakan seorang filosofis. Pemikiran dan ajaran-ajaran Guru termaktub dalam
Kitab Pustaha Agong.
Kitab
ini membahas cakupan antara lain; Ilmu Hadatuan (Medical dan Metaphysical
Science), Parmonsahon (Art of Self Defence & Strategy-cum-Tactical Science)
dan Pangaliluon (Science of Deceit).
Perkembangan
ilmu pengetahuan saat itu telah membuat kerajaan sangat disegani oleh
rakyatnya. Sementara itu Kubu Toga Sumba dengan Rajanya Isumbaon juga ikut
serta berusaha membangun peradaban.
Bila
kubu Tatae Bulan lebih fokus pada hal-hal spiritual dan sosial. Maka kebijakan
dan ajaran Raja Isumbaon termaktub dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing mencakup;
Harajaon (Political Science or the science about the kingdom), Parumaon
(Legislation), Partiga-tigaon (Econimics Science or The Arts of Trading) dan
Paningaon (Life Skills or Technology).
Populasi
kerajaan Hatorusan saat itu membentang dari timur Sumatera sampai barat
Sumatera dengan kota pelabuhannya; Barus dan Singkil di utara mencakup Gayo dan
Rao di bagian selatan.
Teknologi
dan Peradaban Barus
Saat
Raja Uti, dan keturunannya yang dikenal sebagai Pre-Islamic Barus Kings oleh
kalangan barat, memindahkan ibukota kerajaannya ke pesisir, di sinilah ia
memperkuat kerajaan Hatorusan dengan membangun berbagai bandar, seperti Barus.
Kota Fansur dan Lobu Tua merupakan kota-kota penting di Barus. Kota Fansur
merupakan kota tertua karena wilayah ini dulunya merupakan persinggahan bagi
penduduk nomaden, karena adanya pansur-pansur yang berfungsi sebagai pancoran
air dari mata air pegunungan. Sering disebut Pansur dalam bahasa Batak dan Fansur
dalam sebutan orang-orang Arab. Teknologi pembuatan parfum, medis dan
pengawetan berkembang oleh tangan-tangan ahli Batak menjadikan Barus, daerah
yang sangat terkenal di saatnya.
Ajaran
paningaon atau kemampuan untuk kreatif dalam penguasaan teknologi yang
diajarkan Guru Tatea Bulan, memberi dorongan kepada Kerajaan Hatorusan untuk
membentuk golongan profesional di kalangan masyarakat yang menangani segala
tuntutan peralatan. Para tenaga profesional ini telah berpengalaman dan
mengkonstruksi bangunan-bangunan raksasa yang terbuat dari kayu; rumah Batak.
Ilmu-ilmu
mengenai pengolahan logam dan pembuatan berbagai pernik perhiasan yang menjadi
primadona para saudagar yang datang dikembangkan dalam ‘partungkoan’ dan
‘toguan’. Institusi ini merupakan ruangan besar yang berfungsi sebagai tempat
pembelajaran generasi muda yang ingin menguasasi berbagai pengetahuan.
Raja
patik, adalah profesi pengajar di partungkaon tersebut. Setiap kali para
mahasiswa berkumpul dalam ‘hall’ tersebut, raja patik akan datang dan memulai
pengajaran yang diperlukan. Kurikulum berlaku tidak kaku, jadi setiap saat dan
setiap waktu isi pembelajaran akan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Dalam
kehidupan sehari-hari, seorang raja patik, juga menjadi pembicara dalam
pertemuan-pertemuan formal dan informal di masyarakat. Untuk forum yang formal
dia menjadi anggota dewan bius. Wilayah pemukiman baru disebut huta dan
jumpulan huta disebut bius. Wewenang raja patik adalah menguasai regulasi dan
hal-hal detail dari kehidupan adat sebuah masyarakat dalam level bius.
Posisinya
dalam sebuah pemerintahan huta dan bius lebih bersifat konsultatif. Dia menjadi
pegarah moral dalam kehidupan sosial masyarakat dan menjadi “walking
encyclopedia” di tengah-tengah komunitasnya.
Para
mahasiswanya tersebut sebelumnya menimba ilmu di partungkoan di komunitas
masing-masing. Baik itu yang ada di huta, luat maupun bius. Pembelajaran pada
seorang anak akan dimulai dari keluarganya. Setiap orang akan dibekali orang
tuanya filsafat dasar pendidikan yang disebut Sisia-sia Na Lima atau ‘a five
folding teaching’, yaitu Mardebata (belief in God), Martutur (treasuring
kinship realation), Marpatik (carrying out regulation), Maruhum (respect for
law) dan Maradat (haighly valuing the culture).
Setelah
dirasa cukup dan sudah memahami, si anak akan diarahkan orang tuanya untuk
menghadiri berbagai pertemuan di partungkoan setempat untuk mendengarkan
berbagai ajaran dan pelajaran dari raja patik. Berbagai ajaran dasar yang ada
di Pustaha Agong maupun Pustaha Tumbaga Holing.
Sampai
batas waktu tertentu si anak akan merasa perlu untuk mengembangkan ilmunya,
maka dia akan berinisiatif untuk menghadiri partungkoan yang lebih mendalam dan
lebih bermutu, biasanya ada di huta yang lebih besar.
Tidak
semua siswa mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Semuanya
tergantung hasrat dan kemampaun ekonominya. Beberapa di antaranya langsung
melibatkan diri dalam masyarakat. Beberapa melanjutkan ilmunya.
Mereka
yang menyukai ilmu kesehatan atau kedokteran sekarang ini akan berusaha
menguasai ilmu hadatuan kepada datu profesional. Tidak mudah mendaftar untuk
menjadi datu, dibutuhkan persyaratan yang ketat, dukungan ekonomi dan berbagai
ritual. Tentunya seorang yang ingin menjadi datu harus menguasai aksara Batak
sebagai medium pembelajaran.
Pada
tahap yang tinggi, dalam bidang hadatuan, ilmu yang dipelajari tidak saja
mengenai medis dan pengobatan semata tapi juga ilmu astronomi, habeguan,
parmonsahon, dan pangaliluon serta ilmu kimia dalam meracik bahan-bahan yang
digunakan sebagai racun.
Mereka
yang ingin bergelut dan berprofesi di Onan akan menguasai ilmu partiga-tigaon
dari raja patik yang menguasainya. Onan adalah pasar ekonomi yang fungsinya
tidak hanya pada kegiatan ekonomi tapi juga arbitrase, penetapan undang-undang,
pengumpulan opini dan penyebaran informasi.
Mereka
yang lebih ingin menjadi tenaga-tenaga ahli di galangan kapal, konstruksi
bangunan atau rumah, pandai besi dan pengolahan logam emas dan perak serta
penenunan kain-kain akan berusaha menguasai ilmu paningaon.
Dalam
pembangunan rumah Batak misalnya, seorang arsitek atau insinyur akan mengatur
dan mendesain bentuk rumah. Profesi insinyur ini disebut ‘panumpan ruma’. Dia
harus memiliki keahlian pembangunan rumah kayu ditambah kemampuan geometri.
Karena rumah tinggal tersebut harus disesuaikan dengan arah dan posisinya.
Selain
ini kemampuan dalam penghitungan dan pengukuran serta ilmu aritmatika
dibutuhkan untuk menyempurnakan bangunan. Seorang arsitek biasanya akan dibantu
oleh beberapa ahli lainnya, seperti desainer pengukir ornamen-ornamen hiasan
bangunan yang disebut panggorga dan juga tentunya bagian pengecatan. Mereka ini
diharuskan untuk menguasai sisi aestetik ornamen dan kompilasi warna-warna yang
dibutuhkan. Warna-warna tersebut harus disesuaikan dengan pemahaman filosofis
yang berkembang saat itu. Dengan demikian para arsitek dan desainer warna
tersebut tidak bekerja sembarangan karena setiap warna mempunyai makna
tersendiri.
Salah
satu elemen parik tersebut adalah batu-batu besar yang sulit diangkut bahkan
oleh lima orang sekalipun. Teknik-teknik pegangkutan batu tersebut membutuhkan
keahlian yang tidak mudah. Peletakan ‘harbangan’ sebagai pintu utama ke huta
tersebut juga harus sesuai.
Gedung-gedung
pendukung seperti horja (tempat ritual), tempat pengeringan padi, gudang
penyimpanan besar, tempat bermain anak-anak dan taman membutuhkan desain tata
kota yang sangat rumit. Tempat permainan anak misalnya, adalah lapangan terbuka
yang tanahnya tahan hujan yang membutuhkan pengetahuan dalam komposisi adukan
tanah di lapisan atasnya serta pengukuran ketinggian dari sistem pengairan dan
irigasi penampungan aliran hujan, sehingga tetap nyaman dipakai, tidak menjadi
kubangan lumpur.
Para
sarjana-sarjana Batak pada waktu itu juga mengembangkan teknologi pembuatan
kapal dari apa yang mereka dapatkan dari danau Toba, yaitu pabrik solu yang
menyebar dipinggiran danau tersebut. Solu tersebut tidak saja dipakai sebagai
pengangkutan di atas air, tapi juga mempunyai seni ukiran yang indah di
sisi-sisinya yang memberi keindahan bagi penggunanya. Pengetahuan ini sangat
dibutuhkan dalam perbaikan kapal-kapal asing di galangan kerajaan di Barus.
Teknologi
irigasi persawahan juga menjadi keahlian masyarakat pada waktu itu. Sebuah
pengetahuan yang sangat berguna khususnya saat iklim tidak menentu. Ahli yang
menangani irigrasi tersebut disebut ‘raja bondar’.
Dalam
bidang tekstil, mesin-mesin teksil tradisional saat itu dibuat untuk
memanifestasikan filosofi masyarakat. Kain bukan saja digunakan sebagai pakain
tapi juga menunjukkan keagungan pemahaman atas filsafat kehidupan. Dalam ulos
misalnya, kolaborasi warna-warna tertentu memberikan arti sesuai dengan
filsafat Daihan Na Tolu dan Naga Padoha.
Konsekuensi
kehidupan huta yang semakin ramai dan komplikasi membutuh peralatan-peralatan
domestik untuk mempermudah. Untuk itu beberapa peralatan mulai diciptakan.
Aksesoris
yang berkembang saat itu adalah aneka macam perhiasan, seperti cincin,
anting-anting, tempat penyimpanan sirih yang terbuat dari emas dan sirih
tergantung level sosial pemakainya.
Dalam
bidang musik, dikenal alat ‘tulila’, ‘hasapi’, ‘saga-saga’, ‘tanggetang’,
‘ogung’, ‘oloan’, ‘doal’, ‘panggora’, ‘gordang’, ‘hombung’, ‘sarune’ daln
lain-lain. Peralatan pertanian seperti, ‘gair-gair’, ‘hudali’, ‘ansuan’,
‘ninggala’, ‘auga’, ‘rogo’, ‘sasabi’, ‘guris’ dan sebagainya.
Peralatan
dapur, ‘dagu’, ‘sonduk’, ‘seak’, ‘hudon’, ‘poting’ , ‘anduri, ‘hombur-hombur’,
‘sapa’, ‘panutuan’, ‘parburian’, ‘ramboan’, ‘parsisiraan’, ‘tabu-tabu dan
lain-lain. Penyimpanan misalnya, ‘panuhunan’ ‘hadangan’, ‘hajut’, ‘sanihe’,
‘ragian’, ‘harpe’, ‘singkup’ daln lain sebagainya.
Peralatan
lain yang penting adalah alat-alat tulis, buku-buku yang terbuat dari bambu,
peralatan festival, ‘marusir’ (catur Batak) dan lain sebagainya.
Raja
Uti sendiri merupakan penyayang binatang yang disegani pada zamannya. Sanking
banyaknya koleksi binatang melata dan buas di istananya, membuat pamornya
semakin bertambah di kalangan masyarakat. Kondisinya yang cacat membuatnya
lebih banyak berkurung di istananya di Barus. Dia hanya berkomunikasi kepada
menteri-menterinya untuk urusan kenegaraan. Akibatnya dia jarang tampil
dipublik sehingga mitos dan legenda mengenai raja Utipun semakin sempurna;
sebagai raja yang misterius.
Barus
berkembang menjadi kota pelabuhan yang masyhur karena sudah tersedia tenaga
ahli profesional dalam pembuatan dan perbaikan galangan kapal.
Sumber-sumber
sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad ke-2 SM mengatakan bahwa
kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abad-abad terakhir sebelum
tibanya tarikh Masehi. (Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri; Masalah Tasawuf dan
Puisi-puisinya, Mizan 1995).
Begitu
pula rombongan kapal Fir’aun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus
antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk
pembuatan mummi. Mereka adalah orang-orang Arab pra-Islam Funisia, Kartago yang
sekarang menjadi Libya dan Mesir, Afrika Utara.
Beberapa
literatur mengenai Barus dan pelayaran orang-orang Yunani, Arab, Mesir, Yahudi,
India, Persia, Cina dan lain-lain ke daerah tersebut di antaranya, O. W.
Wolters, The Fall of Srivijaya in Malay History, Itacha: Lund Humpries
Publishers Ltd., 1970.
Yang
penting lagi adalah G. Ferrand, Relation de voyages et textes Geographiques
Arabs. Persians et Turks relatif e l’Extreme-Orient du Ville aux siecles 2
jilid, Paris, 1913; dan N. J. Krom, Hindoe- Javanesche Geschiedenis (cetakan
kedua), ‘s-Gravenhague, 1931.
Juga
dapat dibaca karangan Jane Drakard “An India Ocean Port: Source from the
Earlier History of Barus”, Archipel No. 37-38, 1989 dan L.F. Brakel, “The
Birthplace of Hamza Pansuri”, JMBRAS 42, 2, 1969, h. 206-213.
Ptolomeus
membicarakan Barus sebanyak lima kali di dalam laporannya dengan pandangan
negatif terhadap penduduk pribumi Sumatera, khususnya orang Batak yang
dikatakannya sebagai orang-orang kanibal (Wolters hal. 9; Krom h. 57-59)
Beberapa
abad kemudian hal ini terbukti ketika seorang pedagang Yahudi dari Kairo telah
meninggal di Barus pada paruh pertama abad-13 (Wolters 43). Diduga orang Yahudi
ini berlaku sombong dan semena-mena dan dimakan oleh orang Batak.
Orang-orang
India menyebut Barus sebagai “Warusaka” berarti kota pelabuhan dan Sumatera
sebagai Suvarnadvipa- The Fabulous Island of Gold. Hal ini dikarenakan Kerajaan
Hatorusan telah berkembang tidak hanya menjadi kota pelabuhan penting, tapi
kota perkebunan kamper (disebut juga kapur, kanpur, kampur, kanfer dan kafur)
dan industri logam emas. Barus menjadi pemasok logam emas ke seluruh dunia.
Sisa-sisa emas tersebut masih terdapat di beberapa daerah Batak sekarang ini.
Sementara
itu di pedalaman Batak, Sianjur Mula-mula beberapa kerajaan huta telah berdiri
lama. Tahun 100 SM Kerajaan Batahan Pulo Morsa eksis. Kerajaan ini memakai
sistem raja na opat atau raja berempat yang terdiri; Pulo Morsa Julu, dengan
Raja Suma Hang Deha, Pulo Morsa Tonga, Raja Batahan Jonggi Nabolon, Pulo Morsa
Jau dengan Raja Situan I Rugi-rugi dan Pulo Morsa Jae dengan Raja Umung Bane.
Kerajaan ini bertahan selama 24 keturunan. (Tiurma. L Tobing, Raja
Sisingamangaraja XII, Depdikbud 1981).
Di
Kerajaan Hatorusan, hukum-hukum yang mengatur interaksi sosial masyarakat
diatur dalam berbagai undang-undang secara demokratis (parsagoman). Kumpulan
hukum tersebut tercakup dalam Dalihan Na Tolu dan perjambaran. Untuk
menghindari kekacauan antar wilayah-wilayah kecil di bawah Kerajaan Hatorusan,
diciptakan institusi raja huta dan Pande na Bolon sebagai penasehat keagamaan.
Pada
450 M, daerah pedalaman Batak, Toba, telah diolah dan dikelola secara luas oleh
rakyat kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon,
kelompok marga Si Bagot Ni Pohan. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan
yang membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.
Sebagian
dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap
di Toba dan Uluan hingga kini. Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus
bertarung melawan orang-orang Hindu Minang. Mereka kalah. Perantauan berhenti
dan mereka mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi
benteng pertahanan.
Mereka
kemudian berhadapan dengan penghuni Lobu Tua, Bangsa Tamil berkulit hitam ras
Dravidian, melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai
Batang Toru. Orang-orang tersebut tersingkir dan kemudian menetap di
hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bangsa Tamil beberapa abad kemudian,
bermigrasi dari India Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan
membentuk Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli, Medan.
Para
pengikut parmalim menyakini bahwa tahun 497 M atau 1450 tahun Batak, merupakan
tahun kebangkitan pemikiran keagamaan di kepemimpinan Raja-raja Uti. Raja Uti
dinobatkan sebagai Tokoh Spiritual Batak dan Rasul Batak (Abdul Rachmi
Pasaribu, Raja Uti: Tokoh Spiritual Batak, Yayasan Lopian Indonesia, 1996)
Pada
600 M, komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri
dari persemakmuran kerajaan Batak. Mereka mendirikan kerajaan Nagur dengan
bentuk dan identitas yang berbeda. Mereka kemudian tidak mau disebut Batak atau
Toba. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo
di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo
tertransformasi menjadi beberapa kerajaan Islam di Aceh.
Simalungun
merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan magma
tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra
sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil
membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak;
Pohon Karet.
Hasil-hasil
pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid; orang-orang Cina yang
sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa
Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa
Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang sering menjadi bajak
laut di Lautan Cina Selatan.
Kolaborasi
dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat
setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah
Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari
Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.
Pada
abad ke-7, utusan dagang kerajaan Barus Hatorusan berangkat dari Barus menuju
ke Cina membicarakan perdagangan bilateral antara Sumatera dan Cina (Wolters
33).
Sementara
itu laporan Cina yang lain mengatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke-7 dan 8
merupakan kerajaan ganda satu diantaranya ialah Barus (Wolters 9). Diyakini
lokasi strategis Barus dan volume perdagangan di wilayah tersebut membuat
kerajaan Hatorusan terlibat dalam pertikaian politik dengan kerajaan Sriwijaya
dari Sumatera Selatan dan Jawa, sehingga saling menganeksasi.
Hubungan
Barus dengan Sriwijaya dibicarakan di dalam kitab Sunda lama “Carita
Parahyangan” yang mengatakan bahwa Barus merupakan daerah taklukan dari Raja
Sanjaya, raja Sumatera dari Sriwijaya yang berkuasa di Jawa dan mendirikan
candi Borobudur (Krom 126).
Sriwijaya
memang pernah menyerbu Barus, namun gangguan dari luar tersebut dapat akhirnya
diatasi sehingga Barus kembali menjadi kota yang padat dengan perdagangan. Perkembangan
pemikiran agama juga berkembang. Saat ini mulai masuk Islam ke Barus. Sulaiman,
seorang pedagang dan penjelajah muslim, pada tahun 851 M memberitakan tentang
adanya penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).
Ahli
sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum
munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera seperti Peurlak dan
Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di Barus telah terdapat
kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan kehidupan yang cukup mapan (Dada
Meuraxa dalam Ali Hasymi, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia,
bandung PT Al Ma’arif 1987).
Pada
850 M, kelompok marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran
bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di
Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai kendaraan bermigrasi.
Karena
ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah menguasai
hampir seluruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan. Sebuah
daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk mengembangbiakkan kuda-kuda
mereka.
Sebagain
dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di sini
tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi komunitas
agraris. Sementara di Padang Lawas mereka menjadi penguasa feodalistik dan
mulai memperkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.
Sementara
itu pada 900 M, marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing.
Beberapa ratus tahun sebelumnya, perbauran penduduk dengan pendatang sudah
menjadi tradisi di beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.
Penduduk
dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan
sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen
bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang
menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa
Batak.
Para
pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu
agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah
laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu,
menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk
marga Nasution.
Sementara
itu perebutan kekuasaan terjadi, Martua Raja Doli dari Sianjur Sagala Limbong
Mulana (Sianjur Mula-mula) dengan pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir
Timur. Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina,
yang terdiri atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang,
Aritonang dan Siregar.
Ibnu
Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota di Barus,
sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara (Ferrand 79).
Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus merupakan pelabuhan
terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).
Kemasyhuran
Barus juga mengundang imigran asing bermukim dan berdagang serta menjadi buruh
di beberapa sentral industri. Sebuah inskripsi Tamil bertarikh 1088 M dari
zaman pemerintahan Kulottungga I (1070-1120) dari kerajaan Cola menyebut Barus
terletak di Lobu Tua, dan banyak orang Tamil tinggal di kota ini sebagai
saudagar dan pengrajin (Krom 59-60).
Pada
1050 M, karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung
kembali. Masyarakat Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar dari wilayah
tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga Siregar terpecah
dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukin di Toba.
Sementara
itu pada 1293 – 1339 M, Penetrasi orang-orang Hindu yang berkolaborasi dengan
Bangsa Jawa mendirikan Kerajaan Silo, di Simalungun, dengan Raja Pertama Indra
Warman dengan pasukan yang berasal dari Singosari. Pusat pemerintahan teokrasi
ini berkedudukan di Dolok Sinumbah. Kelak direbut oleh orang-orang Batak dan di
atasnya menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun dengan identitas yang
mulai terpisah dengan Batak. Kerajaan Silo ini terdiri dari dua level
masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priyayi Jawa dan Masyarakat yang
terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.
Akibat
berbagai rongrongan dan berbagai gempuran dari arah selatan seperti Sriwijaya
dan Kerajaan Hindu/Budha Pagarruyung, kerajaan Hatorusan memindahkan ibukotanya
ke Aceh Singkil. Pasukan Hatorusan memperketat posisi kerajaan dengan
modernisasi peralatan. Gajah, kuda dan binatang-binatang buas lainnya dijadikan
sebagai alat bantu kavaleri dan pengawal istana. Oleh karena itu Dinasti Uti
terkenal angker berkat kehadiran Gajah-gajah dan binatang-binatang buas di
sekitar istananya.
Barus
saat itu tetap dipertahankan sebagai kerajaan kota perdagangan dengan pimpinan
sultan lokal yang bertanggung jawab kepada pusat kerajaan.
Pada
abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama
untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112). Marco Polo mengunjungi Sumatera pada
tahun 1292, dan menulis bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan, yang agak
tergantung kepada Cina, tetapi merupakan pelabuhan rempah-rempah yang penting
dan memiliki otonomi (Krom 339).
Prapanca,
seorang pujangga Majapahit abad ke-14, yang masyhur mengatakan di dalam Negara
Kertagama bahwa Barus merupakan salah satu negeri Melayu yang penting di
Sumatera. Negeri Barus menjadi terkenal karena masyarakat Batak di Sumatera
saat itu, Batak Pesisir, menggunakan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca.
Pada
1350, kelompok Marga Siregar bermigrasi ke Sipirok di Tanah
Batak Selatan. Sementara itu antara tahun 1416 – 1513 M, pasukan Cina dibawah
komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho, dalam armada kapal induk mendarat di
Muara Labuh di muara Sungai Batang Gadis. Salah satu misi mereka yakni mengejar
para bandit Hokkian tercapai. Sebelum berangkat kembali menuju tujuan mereka,
pasukan Cengho yang berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu
dan sekaligus membuka pelabuhan Sing Kwang (Singkuang=Tanah Baru).
Di
tahun 1416-1513 M, orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai berdatangan
ke Sing Kwang dan berasimilasi dengan penduduk khususnya kelompok marga
Nasution. Para Tionghoa tersebut membeli Kayu Meranti dari pengusaha setempat
dan mengirimkannya ke Cina daratan untuk bahan baku tiang istana, kuil dan
tempat ibadah lainnya.
Di
pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi orang-orang
Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran
sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di
Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba
dan Sungai Karang.
Antara
tahun 1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas
garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi pertama didirikan oleh
penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun
sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan
juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap
beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang
ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat
ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.
Di
Lain pihak, sejak orang-orang Sriwijaya datang, Barus telah mempunyai hubungan
politik dan dagang yang lebih kuat dengan beberapa kerajaan Hindu di Jawa.
Namun
kedatangan orang-orang tersebut juga mengundang niat-niat yang tidak baik. Abad
13, 14, dan 15 merupakan abad peperangan di Barus.
Abad
13, orang-orang Sriwijaya datang menyerang Barus disusul penyerbuan Majapahit
pada abad 14 dan invasi orang-orang Minangkabau pada abad 15.
Namun
masuknya gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan penduduk lokal
Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing
Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah
menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak di sentral Batak masih
menganut agama asli Batak.
Kelompok
Marga Tanjung di Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di Sorkam kiri,
Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang
merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.
Dominasi
komunitas muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi
antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi
komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan
Pahae. Pada abad ke-16 ini marga Hutagalung mendirikan mesjid lokal kedua di
Silindung.
Perkembangan
Baru
Beberapa perubahan konstalasi
politik terjadi di pedalaman Batak. Ompu Tuan Doli, Raja yang memerintah di
Luat Sagala Limbong, yang mempunyai dua orang anak, meninggal dunia.
Anak
pertama bernama Datu Dalung alias Rimbang Saudara atau Maima yang dikenal
dengan sebutan Erha Ni Sang Maima sementara anak yang kedua Datu Pulungan.
Sang
Raja mendidik anak-anaknya dengan baik. Segala kesaktian dan kekuatan magisnya
diajarkan kepada anak-anaknya secara merata. Semua pangeran-pangeran calon
penerus raja diperlakukan dengan adil dan sama rata. Kehidupan mereka
berlangsung harmonis dengan bimbingan sang ayah.
Akan
tetapi pertikaian mulai muncul saat wafatnya raja. Anak-anaknya mulai
mempermasalahkan siapa yang paling berhak menjadi penerus tahta. Namun sesuai
dengan ketentuan konstitusi adat yang mengatur suksesi politik, Sang Maima
sebagai anak sulung terpilih menjadi Raja.
Namun
kedua bersaudara, beserta keturunanya, beberapa dekade kemudian bersepakat
untuk meninggalkan Luat Sagala Limbong, wilayah yang mereka tempati selama ini.
Tidak
disebutkan alasan khusus mengapa migrasi ini dilakukan. Namun dapat dipastikan
dalam sejarah Batak, faktor-fator migrasi adalah di antaranya; Pandemi kolera
(ini yang sering yang terjadi), peperangan, ekonomi dan perluasan wilayah.
Datu
Pulungan dengan kerabatnya bermigrasi ke Silindung dan diteruskan sampai
wilayah Mandailaing. Di Mandailing mereka bermukim. Sementara itu Datu Dalu dan
para turunannya memilih untuk bermigrasi ke arah barat. Sebagian menuju Lobu
Tua mengikuti para leluhur mereka yang terlebih dahulu berdomisili dan menjadi
penguasa di sana; Sebagaimana Raja Uti, mereka ini juga berasal daru kubu Tatae
Bulan. Di antara mereka yang turut pindah adalah Datu Negara yang dikenal
dengan Manande Uhum dan Datu Tenggara alias Parubahaji.
Dalam
konstalasi politik berikutnya, di pesisir Barat Sumatera, terjadi persaingan
dan pertikaian politik antara Sultan Moghul, Raja Pariaman, di Sumatera Barat,
selatan pesisir Barus dengan Sultan Ri’ayatsyah yang dikenal dengan dengan Raja
Buyung di Aceh. Keduanya masih bersaudara. Puncaknya Sultan Moghul ingin
menaklukkan Aceh.
Armada
angkatan laut Sultan Moghul berangkat menuju Aceh. Beribu pasukan ‘marinir’
tersebut kemudian berlabuh dan melepas jangkar di Fansur untuk memenuhi
kebutuhan logistik mereka. Fansur memang pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan
dunia, tokoh yang lahir dari wilayah ini adalah mereka yang mempunyai kinayah
Al Fansuri.
Saat
itu panglima memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari tahu
mengenai perkembangan Aceh yang terkini. Mereka meminta nasehat dari dua orang
ahli strategi Batak; Datu Tenggaran dan Datu Negara, keduanya dari klan
Pasaribu. Mereka juga diajak untuk ambil bagian dalam misi tersebut. Posisi
Fansur yang cenderung netral tergoyahkan.
Namun
perkembangan politik dan melalui pertimbangan-pertimbangan, pasukan Sultan
Mogul membatalkan niat penyerbuan tersebut. Datu Tenggaran diminta untuk
memimpin pasukan kembali ke Pariaman.
Datuk
Negara sendiri tidak berkenan untuk mengikuti pasukan tersebut ke Pariaman, dia
lebih memilih untuk tetap berada di Fansur. Dalam pesan selamat tinggalnya,
Datuk Teggaran bersumpah kelak akan kembali ke negeri Fansur di Barus. Segumpal
tanah dan sekendi air Fansur jadi saksinya.
Di
Negeri Pariaman, Datu Tenggaran menyempatkan diri untuk memperdalam agama
Islam. Diapun berganti nama menjadi Muhammad. Kegigihan dan kedisiplinan
Muhammad dalam mengemban tugas-tugas negara membuat Sultan Moghul bersimpati.
Dia menawarkan adiknya Siti Permaisuri putri raja Indrapura Munawarsyah.
Setelah
menikah, keduanya membuka wilayah baru dan dinamakan Tarusan untuk mengenang
kakeknya Raja Hatorusan II di Negeri Fansur. Sebagai petinggi dan pembuka
wilayah Datu Tenggaran dianugerahi gelar Sultan Muhammadsyah.
Di
kota baru ini Muhammadsyah juga membawa serta ribuan pengikutnya. Muhammadsyah
sendiri mulai membina keluarganya dengan rukun. Anak-anaknya tumbuh besar dan
berkembang dengan didikan disiplin dan kebijaksanaan yang mendalam dari sang
ayah.
Namun,
Salah satu anaknya yang bernama Sultan Ibrahimsyah, menjelang dewasa, sekitar
umur 17 tahun, berselisih paham dengannya. Perselisihan tersebut meruncing dan
tidak dapat diatasi lagi. Ibrahimsyah pun memilih untuk meninggalkan Negeri
Terusan dengan membawa pengikut 1000 orang menuju Fansur.
Mereka
berlayar ke Utara menyusuri pantai barat Sumatera. Namun karena persiapan yang
kurang memadai, di Batu Mundam, kapal mereka mengalami nahas dan tenggelam.
Rombongan tersebut memilih melanjutkan perjalanan melalui rute darat dan
mengikuti aliran sungai Batangtoru sampai ke Silindung. Dari kota lembah ini
mereka melanjutkan perjalanan menuju Bakkara. Keinginan untuk menuju Fansur pun
dihentikan sementara.
Di
Bakkara mereka disambut oleh keluarga raja lokal. Setelah mengetahui silsilah
masing-masing masyarakat di Bakkara meminta Ibrahimsyah untuk menjadi pemimpin.
Hal itu karena mereka mengetahui nenek moyangnya, raja Hatorusan, merupakan
Raja Batak yang paling disegani pada zaman itu, namun tawaran ini ditolaknya.
Sebagai gantinya dia berjanji dengan berpesan; “Jika anakku ini lahir seorang
laki-laki dengan tanda-tanda tertentu yang ibunya adalah anak raja negeri ini,
angkatlah menjadi raja!”.
Perjalanan
dilanjutkan sampai ke negeri Fansur Pasaribu, Sorkam. Disana mereka
memperkenalkan diri, menyebutkan asal-usul tarombo dan marganya, Ibrahimsyah
pun akhirnya diterima dalam komunitas keluarga Pasaribu tersebut.
Setelah
menetap setempat dan berpikir mendalam, Ibrahimsyah dan pengikutnya memutuskan
untuk meneruskan perjalanan mengikuti matahari tenggelam. Setelah mendapat
persetujuan mereka meneruskan perjalanan dan diantar oleh empat petinggi
Pasaribu: Matondang, Tarihoran, Bonda dan Habeahan mereka inilah yang disebut
sebagai raja-raja Pasaribu Si Opat Pusoran di Negeri Pasaribu itu. Pada masa
sekarang berdasarkan rapat Pasaribu Saruksuk mereka yang disebut Opat Pusoran
tersebut adalah Habeahan, Bondar, Gorat dan Saruksuk.
Barus Dibangun
Kembali :
Dengan
menempuh perjalanan menembus hutan belantara mereka sampai di wilayah Pagaran
Limbong dan diputuskan untuk bermalam di sana. Esoknya mereka meneruskan perjalanan
sampai di tepi laut dekat muara sungai. Ibrahimsyah kemudian meneliti daerah
itu dan melihat bahwa daerah tersebut sesuai untuk dihuni. Berdasarkan survey,
sesuai dengan air dan tanah yang dibawa ayahnya dulu, dia membulatkan tekad dan
niat untuk tinggal di sana; Barus.
Ibrahimsyah
dan para pengikutnya berhasil membangun Barus kembali. Wilayah ini, secara
politik terlah carut-marut diterjang pertikaian dengan kerajaan-kerajaan
tetangga; Aceh, Hindu Minang, Sriwijaya dan Majapahit.
Sultan
Ibrahimsyah berhasil menduduki tampuk pimpinan di Barus. untuk mengenang dan
memperkuat kedaulatannya dia mengklaim kerajaannya sebagai penerus Kerajaan
Hatorusan dengan ibukota Barus. Kerajaan Hatorusan lama sendiri sudah melemah
dan kedaulatannya sudah terpecah-pecah.
Pembangunan
Kerajaan Hatorusan dilanjutkan dengan membentuk konfederasi kerajaan dan
wilayah kecil. Fansur dan Sorkam tunduk ke Ibrahimsyah. Namun, selang beberapa
lama, Ibrahimsyah kemudian menyadari bahwa dibagian hulu sungai telah eksis
sebuah kerajaan tersendiri. Selisih paham mengenai batas-batas wilayah pun
pecah.
Namun
sebelum pertumpahan darah berlangsung, persengkataan itu dapat didamaikan
melalui sebuah traktat; Kerajaan Hulu tersebut diakui eksistensinya dan
dinamakan Kerajaan Barus Hulu, Rajanya tetap memerintah dan tunduk kepada
konfederasi yang dikepalai oleh Sultan Ibrahimsyah, Raja di hilir Barus,
pengaruhnya diakui di seluruh Konfederasi Kerajaan Barus (Raya); Kerajaan
Hatorusan yang baru.
Pembangunan
Barus pun akhirnya dilanjutkan menjadi sebuah bandar yang terkenal pada
saatnya. Pembangunan tidak hanya dilakukan dalam infrstruktur kerajaan tetapi
juga suprastruktur SDM-nya.
Sultan
memberikan perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Individu-individu yang mempunyai bakat yang brilyan akan mendapat
sokongan dan dukungan dana untuk mengembangkan ilmu-ilmu mereka. Ilmu sejarah,
hukum, sosial dan politik serta penguasaan teknologi merupakan beberapa cabang
ilmu yang berkembang saat itu. Komunitas-komunitas dagang diperbolehkan untuk
membuka wilayah dan membangun masyarakatnya sendiri dalam enclave-enclave yang
dilindungi keamanannya. Orang-orang China, Arab dan pedaganga India merupakan
kaum imigran yang berdomisili di sana.
Produk-produk
Barus
Sultan
Ibrahimsyah menjadi legenda sebagai sultan pribumi yang terkuat di tanah Batak.
Akibat dukungan Sultan kepada ilmu pengetahuan, beberapa sarjana pribumi lahir
dan menorehkan hasil karyanya. Di antaranya Hamzah Fansuri. Seorang penyair dan
ilmuwan pada bidang sosial, politik dam agama. Muridnya bernama Syamsuddin
al-Sumatrani. Syamsuddin kemudian merantau ke Aceh dan menjadi penasihat
politik dan agama di Pasai bagi Sultan Iskandar Muda dia wafat tahun 1630 M.
Namanya kemudian dikenal sebagai Syamsuddin van Pasai. Aceh pada awal abad-17
menginvasi Barus. Intelektual lain adalah Abdul Rauf Fansuri. Tidak diketahui
apa marga mereka ini, tapi dipastikan Fansur dan Barus didominasi oleh campuran
keturunan Arab, Farsi, Gujarat dengan Marga Pasaribu, Pohan dan Tanjung.
Pengaruh
Sultan Ibrahimsyah Pasaribu juga menjadi masyhur sampai ke negeri Aceh, bahkan
dalam beberapa ekspansinya di sana, dia berhasil memperkenalkan agama Islam di
sebagain besar penduduk Aceh bahagian barat. Kelompok Pasaribu melalui
Ibrahimsyah Pasaribu dengan demikian juga dikenal sebagai pembawa agama Islam
di Negeri Aceh. Walaupun begitu agama Islam sendiri diyakini sudah dikenal oleh
penduduk Aceh khususnya mereka yang tinggal di bagian pesisir timur. Komoditas
perdagangan Barus juga meningkat secara kuantitas dan kualitas.
Pada
permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang terkenal dan
mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan
kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi para pedaganga asing.
Dia
menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam jumlah besar di
Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu, madu, kayu manis
dan aneka rempah-rempah (Armando Cartesao, The Suma Oriental of Tome Pires and
The Book of Rodrigues, Nideln-Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd,.1967; hal.
161-162).
Seorang
penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad
ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi Dabt al-Ulum
al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang
Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri lagi, adalah sebuah pelabuhan
yang sangat terkemuka di pantai Barat Sumatera.
Pada
pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali Syalabi juga
berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang
penting dan ramai di Sumatera. (Lihat. L.F. Brakel, Hamza Pansuri, JMBRAS vol.
52, 1979).
Sebuah
misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di dalam
laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih yang bermutu
tinggi didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga kamfer yang penting bagi
orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, cassia, kayu
manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang dibawa ke Kairo oleh
pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya
dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi,
Kanpur, Pidie dan Lampung. (Lihat B.N. Teensma, “An Unkown Potugese Text on
Sumatera from 1582″, BKI, dell 145,
1989.
Dapat
dipastikan bahwa di kota yang ramai dengan masyarakat kelas menengah seperti
Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah
agama. Di situ orang dapat mempelajari ilmu-ulmu agama, termasuk tasawuf dan
kesusasteraan. Sehingga bahasa Melayu sebagai lingua franca mendapat penguatan
dan modernisasi. Hamzah Fansuri merupakan orang yang memperkenalkan keindahan
bahasa Melayu Barus.
Kemajuan
dan perkembangan pemikiran di daerah ini, dengan masuknya orang-orang Arab
& Yunnan mengakibatkan terjadinya modernisasi pendidikan. Modernisasi
pendidikan sudah terjadi di Fansur sejak abad ke-9 dan akhirnya menyebar ke
seluruh Barus. Partungkoan dimodernisasi dengan sistematisasi yang terstruktur
layaknya halaqah-halaqah serta daurah-daurah ilmiyah. Setelah seorang anak
mendapat pendidikan di keluarga mengenai filsafat dasar pendidikan, mereka akan
diserahkan orang tuanya kepada seorang raja patik untuk dididik di
partungkoannya bersama anak-anak lainnya. Silabus yang dipakai saat ini adalah
al-nizhamiyah. Anak-anak akan diajari baca tulis dan penghafalan al-Qur’an.
Lulusan
sekolah dasar ini akan dianggap lulus setelah menghafal 30 Juz, kemudian
sekitar umur 8 tahun anak akan diarahkan ke Partungkoan atau daurah lain yang
lebih tinggi. Di sini mereka diajari ilmu bahasa sesuai dengan minat dan latar
belakang keluarga si anak. Misalnya, bahasa Batak, Cina, Melayu, Tamil, dan
Arab, namun ilmu yang paling digandrungi adalah bahasa Farsi, yang saat itu
menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Di Barus sendiri telah lama bermukim komunitas
asing; Arab, Tamil, Farsi, Turki, Gujarat, Yunnan, Bugis, Jawa, Siam, Minang,
Siak dan lain-lain. Saat kemunduran Barus, mereka eksodus ke kerajaan Aceh,
sebagian memilih berasimilasi dengan penduduk setempat.
Setelah
itu mereka akan dimasukkan ke partungkoan atau majlis yang mengajarkan
dasar-dasar ilmu sosial, ilmu ukur, hitung, al-Goritma dasar, fiqih, tauhid
serta ilmu-ilmu dasar lainnya.
Tahap
selanjutnya, pada umur 15-an mereka akan masuk dalam kelas yang mempelajari
beberapa undang-undang dan hukum-hukum yang dianut oleh kerajaan, pengetahuan
umum yang up to date, sehingga pengetahuan mereka akan matching dengan
perkembangan hubungan inter-personal di masyarakat.
Sampai
tahap ini, mereka yang bermukim di pedalaman misalnya seorang anak yang ingin
melanjutkan pendidikan tinggi, akan berusaha mencari bekal hidup di perantauan
nanti; Pusat kota Barus. Mahalnya biaya hidup disana mengharuskan mereka
bekerja sejak remaja. Dia akan berinisiatif untuk membuka ladang baru, biasanya
nilam dan produk lainnya. Hasilnya akan dikumpulkan di gudang penyimpanan. Hal
itu terus dilakukan sampai 2-3 tahun. Saat berangkat melanjutkan pendidikan
tinggi, ‘tabungan’ di gudang tersebut baru dijual sekaligus ke Barus. Hasilnya,
akan cukup untuk membeli sebuah tempat tinggal, seekor kuda tunggangan ke
tempat kuliah dan sekaligus modal awal untuk memulai hidup dengan berusaha. Ada
yang membuka toko, rumah pandai besi (panopa) dan bentuk jasa lainnya. Tentu,
calon mahasiswa yang bermukim di Barus tidak perlu serumit itu.
Level
pendidikan tinggi disebut level daurah Hadits. Di Partungkoan ini, ribuan
mahasiswa akan duduk bersama dalam gedung yang sangat luas mendengarkan
pengajaran dari beberapa raja patik alias mu’allim yang mempunyai kredibilitas
perawi sunan dengan bukti syahadah atau ijazah yang menghubungkan mereka dengan
para perawi hadits-hadits di masa lalu.
Di
sini mereka akan mempelajari ilmu-ilmu ketabiban, medis, pengobatan, geografi,
ilmu bumi, hukum-hukum menurut berbagai mazhab dan aliran-aliran, teologi dan
sejarah para pemikir dan pemimpin dulunya dan bab-bab lain yang terkandug dalam
kutubussittah. Saat mengkhatamkan Kutubussittah, yang menjadi ‘major’ di
lembaga ini, para orang tua dan masyarakat akan diundang dan sebuah festival
besar akan diadakan untuk menghormati lulusnya sarjana-sarjana baru tersebut.
Para lulusan baru tersebut akan mendemonstrasikan kemampuan hafalan mereka
dengan melafalkan luar kepala ratusan bahkan ribuan bait matan hadits. Setiap
lulusan baru tersebut akan diberi sebuah kertas yang berisi sebuah kesaksian
bahwa orang tersebut telah belajar kepada si anu, menyebut nama mu’allimnya,
yang mana dia belajar dari si Anu yang belajar dari si Anu dan seterusnya. Dan
yang bersangkutan berhak untuk menyebarkan ilmunya. Ini adalah tanda lulus yang
kredibel dan syah.
Maka
rebana dan marawis pun ditabu, lulusan-lulusan dari Yunnan akan bergembira
dengan menyalakan mercon-mercon yang banyak. Orang-orang Farsi, Arab dan
Gujarat dengan jenggot yang tebal memilih merayakannya di rumah masing-masing.
Orang-orang
Batak, ditemani kedua orang tuanya akan memilih merayakannya di atas anjungan
kapal-kapal mereka sambil berlayar ke pulau-pulau setempat. Orang-orang minang
akan kembali ke tokonya sambil membagikan manisan kepada pelanggannya, tanpa
kegembiraan atas kelulusan pemiliknya.
Seorang
yang belajar dari mu’allim yang kredibel dan mu’allim tersebut belajar dari
orang yang disegani dan terkenal, maka orang tersebut akan mendapat status yang
lebih kuat di masyarakat. Sampai titik ini normalnya seorang akan berumur 20
tahun. Namun patokan umur bukan persyaratan dalam belajar pada waktu itu. Ada
yang membutuhkan 3-5 tahun di sebuah majlis, ada yang hanya membutuhkan 2-6
bulan untuk menguasai ilmu yang tersedia. Dalam semua level pendidikan, ada
yang menamatkannya saat umurnya masih belasan tahun ada juga yang masih
mengulang walau umurnya sudah setengah abad. Para lulusan daurah ini akan
menjadi raja-raja patik atau mu’allim (orang Batak menyebutnya parmalim) di
komunitas masing-masing.
Sebagian
dari mereka akan masuk menjadi anggota dewan parbaringin (penasehat) di huta
masing-masing yang berfungsi sebagai badan legislasi membantu Raja Huta menata
kehidupan masyarakat. Para lulusan yang banyak dari marga Tanjung, Pasaribu,
Pohan, Simanjuntak, Sigalingging, Simbolon dan Daulay saat itu sangat disegani
karena komitmen mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Para mahasiswa
medis akan memilih untuk membuka praktek kedokteran di masyarakat dan menyebut
diri sebagai ‘tabib’.
Sebagian
dari mereka yang menguasai ilmu bumi dan geografi, akan menjadi nakhoda di
kapal-kapal pribumi atau asing, yang mengarungi lautan luas demi berdagang dan
memperluas pangsa pasar maupun dalam sebuah pelayaran misi antar kerajaan. Para
mu’alim yang menjadi nakhoda tersebut sangat disegani karena luasnya
pengetahuan yang dimilikinya.
Sebagian
lagi akan meneruskan pelajaran mereka dalam partungkoan atau majlis yang lebih
kecil. Studi mereka tidak lagi dilakukan dalam aula besar secara massal tapi di
dalam ruangan-ruangan kecil dengan jumlah mahasiswa yang lebih sedikit kepada
seorang mu’alim yang menguasai spesialisasi ilmu pengetahuan tertentu. Raja
patik yang sudah berpengalaman dalam praktek nyata tersebut akan memanfaatkan
muridnya sebagai asisten pribadinya dalam penulisan buku, pengajaran di
partungkoan dan lain sebagainya. Proses ini dinamakan takhassus yang bertujuan
penguasaan terhadap bidang-bidang tertentu saja, misalnya, ilmu hukum, ilmu
tafsir, ilmu jirahat atau tabib atau hadatuan yang modern, astrologi,
astronomi, geografi, ilmu hayat, ilmu ukur, ilmu mu’amalah dalam penguasaan
ekonomi dan perdagangan, ilmu al-hasib al-aly dalam bidang penguasaan ilmu
tenun dan ilmu applikasi lainnya dan ijtima’iyah serta ilmu-ilmu lainnya.
Tahap
terakhir adalah takhsis, dimana seorang mahasiwa diarahkan untuk melakukan
pengembangan terhadap kemampuan mereka. Seorang raja patik atau mu’allim agung
yang paling disegani akan membimbing mereka yang takhsis untuk melakukan
beberapa eksperimen dalam ruang lingkup pengetahuan yang mereka kuasai. Setiap
orang yang terlibat akan menuangkan hasilnya dalam beberapa catatan untuk
diserahkan agar dinilai dan di-tarjih.
Catatan-catatan
tersebut pada akhirnya akan menjadi ‘trade mark’ sarjana tersebut. Catatan atau
disertasi tersebut, bisa berupa syarah buku-buku yang sudah ada maupun subjek
yang baru, akan diperebutkan oleh maktab-maktab (perpustakaan-perpustakaan
swadaya) untuk disimpan dengan mereka. Beberapa disimpan sendiri oleh
pemiliknya. Para mahasiswa mendatang yang ingin mengambil sebagian isinya akan
disyaratkan untuk membayar dengan beberapa keping mata uang, mengganti ongkos
penulisan kembali (salinan) buku tersebut.
Profesi
katib pun menjadi marak di berbagai perpusatakaan. Si pembaca buku, bila ingin
mendapatkan kopi atau salinan dari buku yang dia iginkan dapat memesankan
salinan kepada katib-katib yang bersedia menuliskan seluruh atau sebagai isi
buku. Dalam dua atau tiga hari sebuah kopi dan salinan buku tersebut sudah siap
untuk diambil, tentu setelah memberikan upah jasanya. Ada juga para sarjana
tersebut menyimpan sendiri bukunya, sehingga dia akan menjadi katibnya dan
mendapatkan margin yang lebih besar.
Mereka
yang mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi, akan berusaha menggenapkan
pengetahuannya dengan berkelana, menumpang kapal-kapal asing, ke Mekkah sambil
menunaikan ibadah haji. Sebagian mengikuti kapal-kapal asing lainnya dengan
tujuan yang berbeda dan tidak pernah kembali. Di Mekkah mereka akan tinggal
satu sampai tiga tahun, untuk selanjutnya kembali lagi, demi standarisasi
pengetahuan mereka dengan ribuan orang dan sarjana lain yang datang dari segala
penjuru dunia.
Seseorang
yang melalui berbagai tahap ini, akan kembali ke negerinya untuk mengabdikan
ilmunya baik dengan membuka halaqah-halaqah baru atau bergabung dengan yang
sudah ada, menjadi pegawai kerajaan maupun dengan menjadi pemuka, cendikiawan
dan pembicara pada pertemuan-pertemuan penduduk. Posisi mereka akan semakin
disegani dengan panggilan Syeikh, yang berarti yang dituakan (ilmunya).
Pendidikan untuk perempuan
mendapatkan perlakuan yang sama. Bedanya paska sekolah tahfiz, seorang siswi
akan menghadiri partungkoan yang terpisah dengan siswa, sampai pada level
terakhir pendidikannya. Seorang cucu, misalnya akan sangat bangga kepada
teman-temannya bila ternyata neneknya adalah seorang hafidzah. Orang-orang
berlomba-lomba untuk mendapat ilmu sebanyak-banyaknya karena hal tersebut dapat
menaikkan kehormatan keluarga di tengah masyarakat.
Pendidikan
ala masa dahulu ini menonjolkan institusi pribadi dan personal sang mu’allim
dari pada institusinya. Sehingga sebuah majlis tidak dilihat dari bangunan dan
papan namanya, tapi kepada pribadi yang menjadi pusat ilmu. Sehingga, apabila seorang
maha guru mangkat, majlis tersebut akan ditinggalkan mahasiswanya dan berguru
kepada pribadi lain yang sejajar dengannya, kecuali bila asisten maha guru
tersebut juga mempunyai kredibilitas yang sama.
Partungkoan
atau halaqah-halaqah ini tidak memungut bayaran kepada mahasiswanya karena
pendaftaran mahasiswa menggunakan administrasi yang sederhana. Walaupun begitu
mereka yang ingin memberikan hibah akan dihormati. Mahasiswa baru yang akan
bergabung biasanya akan silaturrahmi dengan sang mu’allim di rumahnya. Setelah
niat dan maksud diutarakan namanya akan dicatat oleh asistennya dan
diberitahukan persiapan apa saja yang harus disediakannya. Asisten tersebut,
biasanya berasal dari kalangan mahasiswa senior, akan memeriksa latar
belakangnya dimana dia belajar sebelumnya dan subjek apa saja yang pernah
dipelajari. Mahasiswa tersebut akan diuji secara lisan dan tulisan. Bila tidak
lulus dia akan disarankan untuk mengikuti terlebih dahulu majlis-majlis mini
yang dipimpin oleh para asisten atau khadim mu’allim tersebut.
Penghasilan
mu’allim didapat dari sumbangan kerajaan, jasa terhadap perannya di
pertemuan-pertemuan petinggi kerajaan maupun penduduk. Sumber lain adalah dari
hadiah, waqaf dan infaq orang-orang yang kaya. Bila dia seorang penulis, upah
atas jasanya akan diberikan oleh perpustakaan dan katib-katib, dari setiap
orang yang meminjam bukunya. Untuk mahasiswa atau penuntut ilmu, mereka akan
mendapat kemudahan berupa beasiswa dari kerajaan maupun lembaga-lembaga mesjid
yang menyediakan dana ibn sabil. Mereka yang masuk ashnaf delapan akan
mendapatkan zakat.
Kalangan
orang kaya akan dengan senang hati menampung para penuntut ilmu di rumahnya,
sebab mereka akan bersikap jujur dan ikut membersihkan kuda-kuda, bekerja di
toko-toko serta membantu dalam penghitungan pemasukan dan urusan lainnya.
Mereka yang tidak kebagian akan membangun pondok-pondok kecil di sekitar tempat
kuliah. Biasanya di tanah kerajaan maupun di tanah milik mu’allim tersebut.
Sehabis
kuliah sebagian mahasiswa akan menjadi pekerja paroh waktu di onan atau pusat
perdagangan, pertanian dan perkebunan sayuran, kamper dan nilam, rumah-rumah
pengolahan logam, galangan kapal, pertukangan kayu, pertukangan besi atau
‘panopa’ dimana semua peralalatan mulai dari yang sederhana sampai yang paling
rumit didesain dan dibuat, pembuatan sepatu, penenunan kain (konveksi),
pemerahan susu kerbau, pembuatan roti, kue-kue dan cendera mata, penggilingan
kopi, cabai, rempah-rempah, meracik obat-obatan dan usaha-usaha lainnya di
Barus.
Ada
yang menjadi katib di perpustakaan, toko maupun kerajaan, nazir mesjid,
mu’adzin, ta’mir majlis, pengantar susu ke rumah-rumah setiap pagi, pekerja di
lapo (cafe), penarik kuda sewaan, juru mudi karavan atau pedati, penjaja lemang
dan tapai bagi penumpang kapal-kapal dan lain-lain.
Mereka
yang berasal dari keluarga pedangang akan menggunakan waktu luangnya
beraktifitas di onan. Sesekali orang tuanya akan datang dari kampung halaman
menjenguk dan melihat perkembangan modal usaha yang diberikan. Tentu, mereka
yang mendapat sokongan dana dari rumahnya atau orang tuanya akan memilih
berkonsentrasi belajar di biliknya atau di gedung baca alias dar al-muthala’ah.
Beberapa
akan duduk dengan khidmat, dengan sebotol tinta yang terbuat dari bambu,
membuat catatan pinggir. Sebagian lagi ada yang menunduk-nundukkan kepala tanda
sedang menghafal keras bait-bait syair, rumus dan matan-matan, beberapa
mengulang-ulang hafalan qur’an, hadits dan geografi. Perjaja teh akan
berkeliling menawarkan minuman kepada mereka yang sedang serius. Di ruangan
lain, mereka yang spesialisasi ‘tabib’ dan jirahat akan berkonsentrasi dengan
materinya; katak, ikan bahkan mayat yang telah diawetkan. Mereka yang sudah
merasa mampu akan bergabung menjadi asisten di dar al-shifa, tempat praktek
tabib profesional.
Di
aula-aula yang lebih luas, setiap saat diadakan forum-forum debat dan diskusi.
Berbagai delegasi mazhab dan aliran agama akan berkumpul, saling mengemukakan
dalil-dalilnya, memberikan informasi yang terbaru tentang hukum-hukum yang
berkembang di berbagai negeri. Beberapa audiens sibuk mencatat hujjah-hujjah
tersebut.
Sesekali
pembicara berasal dari pengelana dan pengembara dari pulau-pulau terpencil,
menceritakan keunikan masyarakat dan habitat alam di sana, menerangkan jalur
peta baru pelayaran. Kalangan mu’allim yang menjadi nakhoda kapal akan berusaha
meminta salinannya, tentu dengan mengganti dengan beberapa dirham mata uang.
Terkadang panglima yang baru kembali dari medan peperangan, menerangkan garis
batas baru dan pergeseran peta politik. Pengumuman mengenai peraturan, kenaikan
pajak dermaga dan peraturan-peraturan baru kerajaan akan dilakukan di onan.
Orang-orang
Batak yang hobbi bermain musik akan bergabung dengan rekan-rekan mereka dari
India, Arab dan mahasiswa asing lainnya di cafe-cafe yang menyediakan teh,
syahi, qahwah dan minuman-minuman khas. Alunan kecapi, gitar tradisional dan
beberapa alat musik akan menyatu seakan menghibur orang-orang yang lalu lalang.
Beberapa lagu multi-bahasa dimainkan dengan beragam jenis musik. Terkadang mereka
saling sindir dengan syair, pantun, umpasa dan puisi-pusi satirik. Saat itu,
pengaruh ajaran tasawuf dan filsafat sedang tren.
Syair-syair
Hamzah Fansuri menggambarkan keindahan kota Barus
saat itu. Keramaian dan kesibukan kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai
emasnya yang cekatan mengubah emas menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar
yang datang dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai
di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu barus dan keramaian
pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan membawa obor yang telah
dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila berjalan malam.
Gadis-gadis
dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung emas penuh
untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah
anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada
bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya terhadap perilaku
politik sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim.
(Mengenai kesusateraan Hamzah Fansuri lihat S.N. al-Attas, The Origin of Malays
Sha’ir, Kulala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968. Juga baca V.I.
Braginsky, Tasawuf dan Sastra Melayu, Jakarta: RUL,. 1993, khususnya esai
“Sekali Lagi Tentang Asal-usul Sya’ir”; hal 63-76.
Sebagaimana
para sarjana Kerajaan Hatorusan lama, Hamzah Fansuri yang hidup di masa
berdirinya Kerajaan Hatorusan baru pimpinan Ibrahimsyah juga mendapat pengaruh
besar di Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa
Hamzah Fansuri memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh
sampai akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil
(1590-1604).
Sementara
itu muridnya Syamsuddin al-Sumatrani naik peranannya baru pada zaman Sultan
Iskandar Muda saat dia bermigrasi ke Aceh. Diyakini dalam mundurnya pamor
Barus, banyak sarjana-sarjana Batak yang pindah ke Aceh, Kutaraja, karena
kehadiran mereka disana sangat disegani. Mengenai Syamsuddin sebaiknya baca
C.A.O. Niewenhujze, Syamsu’l Din van Pasai, Bijdrage tot de Kennis der
Sumatranche Mystiek, disertasi Universitas Leiden, 1945.
Namun
pemikiran filsafat Wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat tantangan dari ulama Aceh.
Ahmad Daudy di dalam bukunya Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin
Ar-Raniry, Jakarta; CV Rajawaki Press, 1983; hal. 41, antara lain menulis,
“Selain sebagai mufti, Syeikh Nuruddin juga seorang penulis yang menyanggah
Wujudiyah. Seringkali ia mengadakan perdebatan dengan penganut ajaran ini, dan
kadang-kadang majelis diskusi diakadakan di istana dimana sultan sendiri
menyaksikannya.
Dalam
perdebatan itu Syeikh Nuruddin berkali-kali memperlihatkan adanya kelemahan dan
penyimpangan dalam ajaran Wujudiyah…., serta meminta agar mereka ini bertobat…
tetapi himbauannya tidak dihiraukan mereka, dan akhirnya mereka dihukum kafir
yang boleh dibunuh, sedangkan kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin
dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman mesjid raya Baiturrahman.”
Tentang
peristiwa pembakaran kitab karangan penulis Wujudiyah, dan hukum bunuh terhadap
pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, Lihat buku Nuruddin al-Raniry,
Bustan al-Salatin edisi T. Iskandar, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1966: hal. 46.
Perlakuan
itu diterima Hamzah Fansuri, karena kritik-kritik tajamnya terhadap
pemerintahan monolitik Sultan Aceh, perilaku buruk orang-orang kaya dan praktik
yoga (dari Hindu India) yang diamalkan ahli-ahli tarekat di Aceh pada awal abad
ke-17, baca S.N. al-Attas The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur:
Universiti malaya Press, 1970; hal. 16-17. juga baca L.F. Brakel, ‘Hamzah
Pansuri’; V.I. Braginsky “Puisi Sufi Perintis Jalan” (Analisis Syair-syair
Hamzah Fansuri tentang Kekasih, Anggur dan Laut”) ceramah di Sudut Penulis,
Dewan Bahasa dan Pusataka, Kuala Lumpur, 27-28 Oktober 1992; juga Abdul Hadi
W.M. ‘Syeikh Hamzah Fansuri ‘Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. V, 1994.
Kembali
ke Kerajaan Hatorusan yang lama, Dinasti Raja Uti. Dalam beberapa abad kepemimpinan
mereka, beberapa generasi raja telah memerintah kerajaan melewai berbagai
serangan dan gempuran asing. Ada beberapa pemimpin dinasti ini yang sempat
diketahui di antaranya pangeran Datu Pejel. Sepeninggalan Raja Uti, Datu
Pejelpun meneruskan tahta kerajaan Hatorusan yang meliputi kekuasaanya sampai
ke pedalaman Batak dengan gelar Raja Uti II.
Namun
Raja Uti II ternyata tidak berumur panjang. Dia meninggal sebelum putra
mahkotanya menginjak usia dewasa. Tahta kerajaanpun diserahterimakan oleh dewan
Kerajaan kepada permaisuri yang kemudian bergelar Ratu Pejel III.
Literatur
mengenai nama-nama generasi dinasti ini tidak jelas. Hanya beberapa tokoh dari
keturunanya yang dikenal tanpa bisa disambung sesuai dengan penahunan yang
kredibel. Diperkirakan jumlah generasinya mulai dari berdiri kerajaan sampai
abad ke-16 mencapai 90 generasi. Disebutkan juga kehadiran Raja Hatorusan II
yang memerintah kota Fansur di Barus, namun tahunnya tidak jelas. Raja
Hatorusan II bukanlah Ibrahimsyah karena keberadaan Raja Hatorusan II jauh
beberapa abad sebelum Ibrahimsyah memerintah.
Hipotesa
yang berlaku adalah mungkin saja kerajaan Hatorusan pernah putus dan
kedaulatannya lenyap. Namun beberapa waktu kemudian keturunannya membangun
kembali. Keturunan Raja Uti yang terkenal berikutnya adalah Borsak Maruhum.
Selain
itu dikenal pula Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji. Raja Uti VI kemudian
dikenal bergelar Longgam Parmunsaki.
Raja
Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang
berkedudukan di Aceh, berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.
Gerakan
oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat
di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah
mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi
subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah
timur kerajaan (Sumatera Timur).
Sang
Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima diantaranya seorang panglima yang
sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari
seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota
yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah
bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi
Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Ketika
Portugis pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima Mahkuta memimpin
bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.
Mahkuta
kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam
usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan
kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan
Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil
sampai sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.
Ditransfer
ke Mahkuta Alias Manghuntal
Mahkuta
yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik
ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan
kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih
untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara,
tempat muasal leluhurnya.
Mahkuta
menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540
Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja
Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai
sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja
XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan
keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat
dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya,
perwakilan dari Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.
Raja
SM Raja XII, sebagai pernghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata,
penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan
Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.
Peta
politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu
Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak
keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.
Raja
Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral
Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H
dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M.
(Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907).
Manghuntal
mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai
kepentingan dan pertikaian antar kelompk masyarakat, dia berkoalisi dengan
dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat
sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu;
Kelompok Bakkara, Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing
keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol
kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan.
Di
samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para
pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai
penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan
bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah
kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan
antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target
pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling
Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal.
Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat
dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora
dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing).
Dari
Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini.
Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangn
geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk
daerah-daerah yang lain. Satu institusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah
daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga
daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di
pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting
kepemimpinan yang dia warisi selama masih
dididik di istama Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkh
politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat
menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya.
Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar
orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan. Manghuntal
memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur
dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah
kembali lagi.
SM
Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela.
Dinasti
SM Raja adalah sebagai berikut:
1.
Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal
memerintah
tahun
1540 s.d. 1550
2.
SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan
memerintah 1550
s.d
1595
3.
SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4.
SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5.
SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
SM
Raja XII
6.
SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7.
SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8.
SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9.
SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10.
SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11.
SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12.
SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Yang
unik adalah, hegemoni Batak Tatae Bulan di kerajaan Batak kemudian berpindah ke
kubu Toba Isumbaon di sentral Batak.
Sultan
Ibrahimsyah Pasaribu Tewas
Sementara
itu, di Barus, terjadi perubahan yang menyedihkan. Pada permulaan abad ke-17,
pamor kota ini merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam
yang ingin memonopoli seluruh pesisir Sumatera, setelah sebelumnya telah
menganeksasi sisa-sisa Kerajaan Hatorusan lama di Singkil.
Di
bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh berhasil menaklukkan
kerajaan Barus dan memasukkannya ke dalam wilayah kesultanan Aceh. Iskandar
Muda memperkecil peranan Barus baik sebagai pusat perniagaan maupun kebudayaan.
(Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar muda (1607-1636),
terjemahan Hasan Muarif Ambary, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1986; Hal. 110-111).
Sejarah
menceritakan bahwa pada tahun 1610 M, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu tewas
terbunuh oleh ekspansi militer Aceh ke wilayah tersebut. Setelah pasukan Barus
berhasil mengusir militer Aceh, kerajaan kemudian diwalikan kepada Sultan Marah
Sifat; raja yang memerintah di Kerajaan Barus Hulu. Setelah berdamai, kedua
kerajaan ini telah mengikat tali persaudaraan dimana Sultan Marah Sifat menjadi
adik ipar Sultan Ibrahimsyah. Ibrahimsyah menikah dengan kakak perempuan Sultan
Marah Sifat. Perwalian ini dimaksudkan sambil menunggu putra kerajaan Sultan
Yusuf Pasaribu bin Ibrahimsyah tumbuh dewasa untuk menduduki tahta.
Akibat
peperangan yang terus menerus dilancarkan Aceh, kemegahan Baruspun selama
berabad-abad telah musnah dan yang tinggal hanya puing-puing. Valentijn,
seorang sarjana Belanda yang mengunjungi Barus pada tahun 1706, menulis dalam
sebuah bukunya:
“…
seorang penyair Melayu, Hamzah Pansur… yakni seorang yang sangat terkemuka di
lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan puisis-puisinya yang
menakjubkan, membuat kita karib kembali dengan kota tempat lahir sang penyair
bilamana di dalam pui-puisinya yang agung dia mengangkat naik dari timbunan
debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan menciptakan kembali
masa-masa gemilang dari kebesarannya…” (lihat A. Teeuw, “The Malay
Sya’ir-Problem of Origin and Tradition”, BKI, 122, 1966, hal. 429-447 (h. 439)
Melalui
cacatan Valentijn, dan tentunya syair-syari Hamzah Fansuri, diperoleh kesan
bahwa pada zaman Hamzah Fansuri, dia masih mengalami dan menikmati zaman
terakhir kegemilangan kota Barus dan menyaksikan pula maraknya perkembangan
Aceh Darussalam.
Setelah
dewasa, Sultan Yusuf diangkat menjadi raja Barus Hilir dengan Gelar Raja Uti,
meniru gelar nenek moyangnya. Sultan Yusuf Pasaribu membangun kembali negaranya
dengan kemampuan yang dia warisi dari kakeknya. Hubungan antara Raja Uti baru
ini dengan kerajaan Batak Sisingamangaraja sangat intens. Kegembiraannya
memuncak setelah lahirnya putranya yang diberi nama Sultan Hidayat Pasaribu.
Sebagai
Raja diapun berusaha untuk membina kembali hubungan diplomasi dengan Raja Aceh.
Simpati Raja Aceh pun bersambut dan menawarkan putrinya untuk dinikahi Sultan
Yusuf.
Tawaran
tersebut diterima oleh Yusuf, dan diapun berangkat untuk menikah dengan Putri
Raja Aceh dan untuk beberapa saat menetap di Banda(r) Aceh. Namun, perasaan
dendam dengan tebunuhnya ayahandanya dalam peperangan mempertahankan Barus
tidak dapat dilupakan oleh Yusuf. Dia lalu membuat strategi untuk membunuh Raja
Aceh tersebut. Gagal, Yusuf hanya mampu membunuh permaisuri raja. Dia ditangkap
dan tewas dihukum oleh hulubalang Aceh.
Sepeninggalan
Sultan Yusuf, kerajaan Barus sementara dipegang oleh Sultan Marah Sifat
kembali. Setelah menerima kabar tewasnya Sultan, tahta kerajaan
diserahterimakan kepada Sultan Hidayat. Sultan Hidayat memegang tampuk
kekuasaan di Barus Hilir dengan gelar Sultan Adil. Sementara itu, di Barus Hulu
telah terjadi suksesi kepada Maharaja Bongsu anak Sultan Marah Sifat.
Kerajaan
Barus Hulu
Antara
abad 10-13 M, ketika Kerajaan Hatorusan diserang oleh balatentara Sriwijaya.
Hatorusanpun kehilangan kontrol terhadap kerajaan-kerajaan kecilnya.
Diperkirakan seluruh Barus (Hilir dan Hulu) takluk.
Barus
Hulu sekarang ini, secara administratif pemerintahan, terletak persis diujung
barat Kab. Humbang Hasundutan. Di bagian selatan berbatasan langsung dengan
Tapanuli Tengah menyenggol perbatasan Aceh Selatan dan di timur laut dengan
Kabupaten Dairi/Pakpak Barat.
Wilayah
ini, dalam administrasi kolonial Belanda bernama Onderafdeling Boven Barus,
Kecamatan Barus Hulu, dengan asisten Demang berkedudukan di
Pakkat. (Drs Gens G Malau, Buku Lopian Boru Sinambela hal 206-217, Yayasan
Taotoba Nusabudaya, Jakarta 1997)
Kerajaan
Barus Hulu,
dengan otoritas Sultan Marah Sifat meliputi tujuh provinsi; Negeri Rambe,
Negeri Simanullang, Negeri Pusuk, Negeri Marbun, Negeri Tukka Dolok, Negeri
Siambaton, Negeri Tukka Holbung Sijungkang dan Negeri Sionomhudon (Parlilitan
& Tarabintang).
Setelah
Sriwijaya berhasil diusir, kerajaan-kerajaan Barus Hulu
dan Hilir kemudian membangun daerahnya. Kontrol Hatorusan melemah. Begitu juga
di Singkil dan beberapa kerajaan di pesisir barat.
Abad
14, gelombang pasukan Majapahit pimpinan perdana menteri Gajah Mada melakukan
ekspansi melalui timur Sumatera. Beberapa wilayah wilayah Batak pernah dikuasai
sampai Sionomhudon. Pergerakan mereka ke barat terhenti karena mereka berhasil
dihalau keluar tanah Batak. Namun begitu kerajaan Majapahit tetap melakukan
hubungan dagang dengan Barus. Elemen Majapahit, yang tidak sempat kembali ke
Jawa, mendirikan komunitas di Dairi.
Sumber-sumber
sejarah dinasti Ming di Cina menyatakan bahwa pada tahun 1418 sebuah rombongan
utusan Kerajaan Majapahit menemui raja Barus disertai orang-orang Cina yang
telah tinggal lama di situ (Krom 144).
Kerajaan
Pagarruyung pernah berkeinginan menaklukkan Barus pada abad 15. Namun pada abad
16, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang baru memerintah berhasil membangun
kekuatan Barus yang lebih kuat dan disegani.
Pada
zaman inilah, abad-16, diketahui bahwa di Barus Hulu telah berdiri lama
kerajaan tersendiri dengan raja Sultan Marah Sifat. Diperkirakan kerajaan ini
sudah lama berdiri dan pecahan dari Hatorusan. Sultan Pasaribu, penguasa
Hatorusan versi baru, mengultimatum Barus Hulu. Kerajaan Barus Hulu kemudian tunduk ke kerajaan Barus
Raya, Kerajaan Hatorusan, pimpinan Sultan Ibrahimsyah Pasaribu.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan ekonomi juga sampai ke Kerajaan Barus Hulu. Para pedagang
dan sudagar dari Negeri Rambe, Sionomhudon dan lain sebagainya aktif terlibat
dalam perputaran ekonomi di kawasan ini.
Akibatnya,
pada abad ke-17, komunitas-komunitas kecil muslim terbentuk di pedalaman Batak
di kerajaan Barus Hulu. Mereka ini adalah para pedagang dan saudagar antar huta
yang tertarik untuk masuk Islam di Barus; pusat ekonomi saat itu.
Komunitas
muslim pedagang dari marga Sihotang misalnya banyak dijumpai di huta
Siranggason, Tolping, Siantar Dairi dan lain sebagainya. Begitu juga dengan
Hasugian, Malau, Nahampun dan Naipospos di Napa Horsik dan Napa Singkam.
Marga
Simbolon, banyak bermukim di Tarabintang, Laetoras dan beberapa di Hutambasang.
Di Hutambasang sendiri kebanyakan muslimnya adalah dari marga Manalu.
Mungkur,
Meha dan Sitohang merupakan marga-marga yang mendirikan mesjid pertama di
Parlilitan. Sementara itu di Negeri Rambe, komunitas muslim berasal dari
pedagang marga Simamora, Marbun, Pasaribu, Sigalingging, Purba dan lain
sebagainya.
Dalam
setiap persta dan festival, posisi komunitas Muslim tersebut sangat dihormati.
Mereka akan disediakan tempat khusus dan koki dari komunitasnya sendiri dalam
perjamuan pesta. Mereka akan disebut komunitas Parsulam atau Parsolam dalam
pesta tersebut. Orang Batak menyebut Islam dengan kata Silom atau Sulam. Tapi
secara umum, dalam kegiatan sehari-hari mereka tidak berbeda dengan mayoritas
masyarakat di situ yang Parmalim.
Kerajaan
Hatorusan baru ini, merupakan aliansi SM Raja XII dalam menghadapi kekuatan
penjajah Belanda. Beberapakali surat-menyurat serta negosiasi dilakukan untuk
mengatur strategi pertahanan.
Ketika
SM Raja XII terpojok dari wilayah Toba, dia mengambil suaka politik di Negeri
Sionomhudon, provinsi Barus Hulu, turut bersamanya sekitar 800 orang yang
sebagian besar terdiri dari pasukan khusus pengawal raja bantuan dari kerajaan
Aceh. Pearaja menjadi basis pemerintahan in exile Kerajaan Batak selama 17
tahun sebelum akhirnya takluk juga.
Setelah
tewasnya SM Raja XII pada tahun 1907, rakyat Barus Hulu dan Hilir masih terus
melakukan perlawanan kepada Belanda walau dalam jumlah kecil sampai tahun
1920-an.
Barus
Hulu, sepeninggalan Sultan Marah Sifat digantikan oleh anaknya Sultan Maharaja
Bongsu dan beberapa keturunannya, akhirnya takluk ke Belanda dan menjadi
Onderafdeling Boven Barus berpusat di Pakkat. Hanya saja beberapa provinsinya
belum seluruhnya takluk.
Negeri
Sionomhudon di Barus Hulu sejak dahulu merupakan negeri yang kaya raya terkenal
dengan tambang emasnya. Diperkirakan masih terdapat bahan galian lain yang
belum diteliti. Hutannya menghasilkan kapur barus, damar, terpentin dan lain
sebagainya. Perkebunan di sana juga menghasikan kulit manis, raru, komponen ramuan
medis dan minyak nilam sebagai bahan utama pembuatan parfum.
Sionomhudon
dikuasai oleh keturunan parna dengan enam kelompok marga; Tinambunan,
Tumangger, Maharaja, Turuten dan Pinayung serta Nahampun. Namun secara umum
orang-orang Dairi, Pakpak dan Simsim ini tidak ingin disebut orang Batak dan
tidak mengaku sebagai Batak. Karena mereka mempunyai nenek moyang sendiri,
bukan Raja Batak tetapi Mpu Bada orang Majapahit. (Mpu terkadang disebut Empu
atau Ompu).
Perkampungan
Karo di
Namorambe (Deli Serdang Sekarang) Tahun 1880-1890
Sebagai
bagian dari Kerajaan Hatorusan, negeri Sionomhudon masuk dalam wilayah Dairi;
Tano Dairi. Penduduknya menyebut diri suku Pakpak. Mereka dan warga BarusHulu
yang lain kebanyakan menjadi pedagang trans Tano Batak. menghubungkan Lobu Tua
dan Fansur, pusat perdagangan komoditas laut, dengan wilayah pusat kerajaan
Batak.
Sumber : beberapa blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar