Minggu, 23 Juni 2013

BERU GINTING SOPE MBELIN



Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.

Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.

Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.

Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.

Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.

MARGA GINTING MUNTÉ DI BATAK KARO



Ginting Munté (Muthé) adalah salah satu cabang(sub-) merga dari merga Ginting(salah satu dari lima merga Batak Karo)! Banyak orang beranggapan kalau merga ini sebenarnya berasal dari Batak(Toba atau Simalungen), akan tetapi jika kita menelisik pada tradisi dalam merga Ginting Munthe itu sendiri, dan jika kita kaitkan dengan tradisi pada sub-merga Karo-karo Sinulingga(Sinulingga telah menemui Ginting Munthe di Lingga sekitar awal-awal abad ke-13), tradisi Saragih Munthe( di Simalungun, Dalimunte di Labuhan Batu, dan sejarah Zending Hindu di Sumatera bagian timur, tengah, dan utara, serta catatan-catatan keberadaan(kemunculan) merga Munte itu sendiri, maka hal ini tidak-lah sejalan dari dimensi waktu dan tidak-lah masuk diakal.

Dipercaya, Si Raja Batak yang menurut tradisi Batak(Toba) adalah nenek moyang seluruh bangsa Batak yang daripadanya-lah lahirnya marga-marga Batak, yang hidup bersamaan waktunya denga kerajaan-kerajaan seperti: Haru(Karo), Nagur(di Sumatera Timur yang identik dengan Simalungun), Padang Lawas dan Pané(Mandailing Tua), Sriwijaya, Majapahit(dalam kakawi Negarakertagama), Malaka, dll; Jika kita meninjau dari hal ini, dapat dipastikan bahwa setidaknya, Karo, Simalungun, dan Mandailing sudah ada saat dimana kemunculan Si Raja Batak yang juga dipercaya adalah aktivis dari salah satu kerajaan tersebut diatas yang mengungsi ke pedalaman Samosir, maka hidup Si Raja Batak dipredikasikan awal abad ke-13 M.