Jumat, 20 April 2012

Profil Cerdas Barus

Cerdas Barus, putra asli Karo lahir di Kabanjahe, Sumatera Utara, pada tahun 1961. Cerdas Barus bisa menggapai GM (Grand Master) walaupun dia seorang tunarunggu, kekurangannya tidak menghalanginya untuk berprestasi di kancah percaturan nasional dan internasional.

Baru mengenal catur pada usia 14 tahun itu pun Satur Karo (Catur Karo) yang memiliki aturan yang berbeda dengan permainan catur pada umumnya, permainan catur sesungguhnya baru dia kenal pada tahun 1978 sewaktu pindah ke kota Medan. Di kota ini ia mengasah ketrampilannya dengan pemain-pemain catur kelas nasional seperti David Purba dan Thomas Ginting. Cerdas benar-benar berbakat. Ia mampu mengejar ketertinggalannya dengan cepat. Tahun 1981 ia keluar sebagai juara kedua dalam Kejuaraan Propinsi Sumatera Utara. Dalam keikutsertaannya yang pertama di ajang Kejurnas, di Bandung 1982, Cerdas memperoleh gelar Master Nasional.

Karir internasional dimulai pada tahun 1983 sebagai anggota regu kota Medan yang ikut serta dalam Kejuaraan Kota Asia di Hongkong kemudian diikuti oleh Olimpiade Catur di Yunani setahun kemudian. Setelah Olimpiade 1984 ini ia hampir tidak pernah absen dari even-even catur penting Indonesia sampai tahunn 2002.
Tahun 2002 adalah tahun emas bagi Cerdas. Selain menjadi Juara Nasional, ia juga memenangkan Hamzah Haz Terbuka di Jakarta dan juara kedua di Turnamen Wismilak. Pada bulan Nopember ia mencapai puncak prestasinya dalam Olimpiade Catur yang diselenggarakan di Bled, Slovenia. Cerdas memenangkan medali emas untuk papan ketiga setelah mengumpulkan 8,5 angka dari 10 partai. Pencapaian ini juga memberi Cerdas norma GM ketiga. Norma GM pertamanya dieroleh di Bali Jeff-RCA Jakarta 1997 dan kedua di Wismilak Surabaya 2002.

Berdasarkan ranking Fide saat ini Cerdas Barus berada di urutan 5 dari pecatur top Indonesia.
Sekilas mengenai GM Cerdas Barus

Sejarah Siwah Sada Ginting

PUSTAKA GINTING: Si Matangken Sibayak Lau Lingga

Maka lit me turin-turin Ginting mergana i Urang Kalasen nari ku Tinjo, emaka tubuh me anak pengulu Tinjo sintua sekalak anak dilaki, i tiktikna warina niat akapna, emaka ipepulungna kalimbubuna ras anak beruna,”Bunuhlah anak enda, adi la kin ibunuh mate me aku” bage nina pengulu Tinjo kempak kalimbubuna ras anak beruna, “Adi bunuh nindu bunuh” nina kalak e ngaloi, emaka reh agi pengulu Tinjo “Ola ibunuh, banci kami lawes, kawan enda dua ras aku jadi sirembahku, maka lawes kami kujuma” nina agi pengulu Tinjo, emaka lawes me agi pengulu Tinjo kujuma ibabana anak e,ikut ras ia dua kalak man sirembahna.
Seh i juma ibuat bapa ngudana ndai duruh mbetung man inemen anak e. Maka tubuh anak kerbo bapa ngudana ndai, jagat indungna jagat anakna, i bunuh anak kerbona ndai. Bas kesain sapah galuh sitabar sengkebenna, itambatkenna kerbona bas batang galuh sitabar ndai, gempang kerbona ndai emaka minem anakna ndai erlape-lapeken galuh sitabar.
Sakit me pengulu Tinjo i rumah Tinjo, e maka itenahkenna me agina ndai kurumah,
“Laweslah kena, ola kena i taneh enda” nina pengulu Tinjo man agina.
“Adi lawes aku kaka, apai kuembah taneh sempukul si Urang Kalasen nari ndube, ugapa enda penimbang?”
“Ni japa perkutan mehuli, i buat tanehna sempukul kenca itimbang, seri kenca timbangenna mehuli” nina Tinjo.

Degradasi Simbol Ke-Karo-an

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Dalam sejarah bangsa tidak terlepas dari peradaban  dan budayanya. Tingginya peradaban dan budaya akan terlihat dalam peninggalan budaya, peralatan rumah tangga dan rumahnya. Simbol-simbol akan tampak dalam peradaban dan budaya itu sendiri. Begitu juga dengan suatu suku bangsa Karo, tentu  mempunyai banyak simbol. Tulisan ini bukan membawa  kea rah pemikiran sempit kesukuan, tapi lebih mengarah kedepan bagaimana keberadaan suatu suku diharapkan dimasa yang akan datang, dalam tatanan suku-suku diantara bangsa Indonesia.