Kesain Rumah Derpih
Dalam hal alam
pemikiran dan kepercayaan, orang Karo (yang belum memeluk agama Islam atau
Kristen) erkiniteken (percaya) akan adanya Dibata (Tuhan) sebagai maha pencipta
segala yang ada di alam raya dan dunia. Menurut kepercayaan tersebut Dibata
yang menguasai segalanya itu terdiri dari
1.
Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang menguasai alam
raya/langit.
2.
Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi
atau dunia.
3.
Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai di
bawah atau di dalam bumi.
Dibata ini disembah agar manusia
mendapatkan keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan kelimpahan
rezeki. Mereka pun percaya adanya tenaga gaib yaitu berupa kekuatan yang
berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau
tempat-tempat lain. Tempat inilah yang dikeramatkan.
Dalam hal ini Dibata yang menguasai
baik alam raya/langit, dunia/bumi, atapun di dalam tanah- disembah maka
permintaan akan terkabul. Karena itu masyarakat yang berkepercayaan demikian
melakukan berbagai variasi untuk melakukan penyembahan. Mereka juga percaya
bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “Tendi“, sewaktu-waktu bisa
meninggalkan jasad/badan manusia.
Mereka juga percaya bahwa jika
manusia sudah meninggal maka tendi akan menjadi begu atau arwah. Banyak upacara
ritual yang dilakukan oleh mereka yang ditujukan untuk keselamatan, kebahagiaan
hidup, dan ketenangan berpikir. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara
kepercayaan menghadapi bahaya paceklik, menanam padi, menghadapi mimpi buruk,
maju menuju medan perang, memasuki rumah baru, menghadapi kelahiran anak,
kematian, menyucikan hati dan pikiran, dan lain lain.
Di semua kegiatan ritual ini peranan
para dukun atau Guru Si Baso tersebut cukup besar. Mereka yang berkepercayaan
demikian itu lazim disebut sebagai perbegu atau sipelbegu. Tapi terlepas dari
maksud pihak luar dengan penamaan istilah tersebut di atas, yang secara kasar
dapat diartikan sebagai penyembah setan atau berhala, mereka menyatakan bahwa
mereka percaya adanya Dibata yang menjadikan segala yang ada dan bahwa ada
tenaga gaib atauu kekuatan maha dasyat darinya yang mampu berbuat apa saja
menurut kehendaknya.
Kalaupun ada dilakukan upacara
ritual berupa persembahan, maka persembahan itu maksudnya adalah kepada Dibata
tadi, hanya saja penyalurannya dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan.
Dengan demikian, pada perkumpulan desa di mana penduduk selalu berada dalam
alam fikiran dan kepercayaan tersebut, para warga selalu merasa ada hubungan
dengan roh keluarga yang sudah meninggal dunia, terutama nenek moyang yang
mereka hormati sebagai pendahulu mereka, pendiri desa, pelindung adat istiadat.
Mereka juga percaya bahwa pada
kebajikan roh-roh tersebut akan menentukan keselamatan anak cucu mereka. Meski
sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik,
Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya
penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan
tradisionalnya.
Agama-agama Katholik, Protestan, dan
Islam telah dipeluk oleh rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan
terhadap cara berpikir di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini
keakraban dan kekeluargaan di antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan
tidak tergoyahkan karena masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat
berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur Si
Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi pola
hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar