Karo Bukan Batak
Rumah adat Karo |
MIGRASI
Pada pra- sejarah terjadi perpindahan bangsa- bangsa termasuk di Asia yang khusus ke Indonesia datang dari Asia Selatan dan Tenggara . Percampuran darah terjadi antar bangsa- bangsa tersebut dengan penduduk yang telah bermukim sebelumnya di Nusantara ini merupakan nenek moyang kita dan pada umumnya yang mendiami pesisir sebagai orang bahari.
Menurut Versi Karo : Leluhur hidup dari menangkap ikan , bertani,
berburu, berdagang , mengarungi samudra luas. Hal ini diceritakan
bersambung hampir setiap malam di lantai lumbung padi yang dinamakan
‘Jambur’ dari purbakala hingga menjelang tahun 1940 di daerah yang
penduduknya suku Karo .
Cerita yang bersambung mengenai seluk beluk asal muasal suku Karo ,
kebudayaan, bahasa dan adat istiadat serta perjuangan hidupnya
biasanya di namakan ‘Turi- turin atau Terombo Karo’. Setiap cerita
ditayangkan melalui lagu merdu pada malam hari sampai dini hari selama
tujuh malam.
Aku dulu pernah mendengarkan cerita bersambung itu sebelum memasuki
bangku sekolah. Karena sudah dilalui puluhan tahun, bisa jadi ada
kelupaan dalam menguraikan inti sarinya, terutama pencocokan daerah
kejadian saat dipergunakan pengetahuan umum geografi dan sejarah
dunia atau nasional dalam keadaan tertentu menurut suasana hikayatnya.
Yang datang dari negeri “Yuna” itu masih tergolong “animisme” atau
“agama pemena”, sedangkan yang bersal dari “Barat” sudah beragama,
yaitu agama Budha. Suku- suku bangsa pesisir yang saling bercampur
darah (perkawinan) sesamanya inilah merupakan nenek moyang suku
Karo setelah kelak masuk ke daerah pedalaman (Pembauran).
PEMUKIMAN DATARAN TINGGI KARO
Leluhur kita yang yang bermukim disepanjang pesisir Sumatera berkembang memeluk kepercayaan yang beraneka ragam yaitu animisme, Budha, Hindu, dan lain lain, sebelum maupun sesudah berdiri Negara Nasional I (Kedatuan Sriwijaya) dan Negara Nasional II (Keprabuan Majapahit) antara abat VII- XVI.
Karena pekerjaan nenek moyang kita selaku kaum bahari dan pedagang,
maka sudah jelas merekapun bergaullah dengan orang asing yang memeluk
pelbagai agama, termasuk Muslim, sehingga kian lama makin banyaklah
agama yang dianut penduduk.
Perbedaan agama pun tak dapat dihindahkan. Yang dalam turi- turi Karo
diceritakan bahwa dalam satu keluarga mungkin terdapat dua atau atau
beberapa kepercayaan yang berlainan, antara satu dengan yang lainnya.
Begitu juga bangsa asing yang memeluk pelbagai macam agama datang ke
Indonesia untuk berdagang sambil menyiarkan agamanya masing- masing.
Selain membawa keagamaan juga mengenai kebudayaan yang mempengaruhi
tata kehidupan pendududk.
Demikianlah seorang pedagang Venesia benama Marcopola pada tahun
1292 telah menyaksikan perkembangan pesat penyiaran agama Islam
didaerah Aceh yaitu Samudera Pasai dan Peureulak. Pada tahun 1345,
menutut Ibnu Batulah, sudah mapan benar agama Islam sebagai anutan
penduduk Di Samudra Pasai, yang keterangannya ini diperkuat pula oleh
musyapir Cina bernama Ceng Ho, yang berkunjung ke daerah tersebut tahun
1405.
Menurut versi karo, pada masa- masa itulah terjadi perubahan tata
kemasyarakatan yaitu kaum yang tak hendak memeluk agama Islam membentuk
kelompok – kelompok . Lalu berpindah ke daerah pedalaman meninggalakan
sanak keluarga yang telah mayoritas beragama Islam. Kemudian agama
Islam meluas berkembang sepanjang pesisir; terutama dalam pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636).
Kemudian maka terjadilah apa yang dinamakan “Mburo Bicok Pertibin”,
yaitu mengadakan pengungsian secara besar- besaran dengan bertekad
untuk tidak akan kembali lagi ke negeri asal buat selama- lamanya.
Diceritakan pada masa itu hutan raya di daerah pedalaman belum dihuni
oleh manusia .
Bahasa “kita” ialah cakap melawi — , yang kemudian berubah seperti
yang sekarang ini. Perubahan bahasa terjadi akibat peroses pembauran
melalui puak- puak yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam
kehidupan adalah logis. Sebagian mereka yang masuk kepedalaman dari arah
pantai Timur maupun dari arah pantai Barat, pulau Sumatera.
Mereka yang tertinggal adalah sudah memeluk agama Islam dan hijrah
tidak hendak memeluk Islam. Perjalanan memasuki rimba hutan belantara
itu, sangat sukar, perlu ada pemimpin atau Panglimanya. Mereka masuk
dan beranggapan bahwa ditempat yang dituju itu religinya/kepercayannya
itu akan aman dilanjutkan sebagai warisan nenek moyangnya.
Diketahui dalam hikayat bahwa pemeluk Islam, selalu mangadakan
pendekatan dengan saudara-saudaranya yang kini berada di wilayah
pegunungan dan bergaul saling berkunjung, akhirnya, kaum yang tadinya
mempertahankan kebiasaan memuja religi nenek moyangnya itu pelan-pelan
ditinggal mereka dan mereka memeluk Islam. Atau diam- diam status quo,
sementara menimbang- nimbang mana patut dilanjutkan dan mana patut
diterima, atau ditolak.
Selanjutnya perjalanan yang sedemikian jauhnya yang disebut
ke-dataran tinggi dinyatakan sebagi “taneh tumpah darah” yang baru
kemudian di berikan nama “TANAH KARO SI MALEM”
PERTIBI PERTENDIN MERGA SI LIMA SI ENGGO KA REH IBAS DESA SI WALUH NARI
“Tanah Karo Si Malem” artinya : peryataan bahwa tanah tumpah darah yang baru itu nyaman, hidup atau mijati, akan dipertahankan selamanya. Pertibi Pertendin Merga Silima artinya: Dibata yang telah menetapkan daerah ini untuk pemukiman kaum yang LIMA MARGA terdiri dari : Karo- Karo , Ginting, Sembiring, Tarigan , Perangin- angin.
“Sienggo ka reh ibas desa siwaluhn nari” artinya: untuk jangka waktu
yang lama tak henti- hentinya datang rombongan pengungsi dari segala
penjurui mata angin (delapan penjuru) kedataran tinggi, sehingga
menjadi buah bibir setiap ada rombongnan terlihat datang dari pesisir,
terucaplah kata- kata, enggo ka reh… enggo kalakreh enggo kalakreh…(
Kareh ) kemudian berubah sebutannya kalak reh, kareh … kare, Karo ,
menjadi … KARO, yang artinya kalak= orang . reh = datang, Karo = orang
datang.
Artinya menjadi; orang yang datang sengaja mengungsi untuk
mempertahankan religinya/ kepercayaaannya. Mereka datang dan
mengharukan, sebab perjalan mereka itupun jauh, lebih kita terharu,
KALAK AROE = KARO Mereka itu melanglang, berani, harus keras hati,
mandiri, budi luhur tetapi suka bermusyawarah dan mau menerima atau
tidak kaku.
Terlihat dalam perkembangannya Merga Karo- Karo, Perangin-angin ,
Sembiring sebelum berangkat meninggalkan leluhurnya di “Barat” tempo
dulu sudah memiliki Indentitas berupa Merga dan Cabang Merga ,seperti
Merga Ginting dan Merga Tarigan bersasal dari YUna (Wilayah Selatan ;
bahkan ada hubungan atas serangan Mongolia dari utara Jengis Khan dsb).
Jatidiri berupa “Merga” telah disandang turun temurun. Oleh karena
itu sekalipun kelompok itu baru tiba akan mendapat kemudahan untuk
mengelompokkannya sesuai Merga yang disebutkan orang yang baru datang.
Di Suku Karo hanya ada LIMA MARGA, dan memiliki cabang untuk setiap
marga. Sekalipun ada cabang-cabang tiap Marga, tapi tidak terlalu
banyak, tidak mencapai ratusan jumlahnya keseluruhannya. Keseluruhan
cabang Merga Silima hanya ada 75 cabang.
Meneliti sejarah maka pemukiman orang Karo di dataran tinggi
diperkirakan pengungsian awal sekitar tahun 1350-an dan terbanyak
tatkala pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1660-an sehingga
disimpulkan bahwa sudah ada orang Karo tahun 1300-an.
Orang Karo yang datang dengan rombongan tepo dulu ke hutan rimba raya
tidaklah besar, sekalipun persyaratannya berangkat “KUH SANGKEP SITELU ”
yaitu Kalimbubu,Senina, Anak Beru . Contohnya dalam cerita bahwa
rombongan KARO mergana , berangkat dari LINGGA RAJA menuju dataran
tinggi, sampailah di puncak “Deleng Penolihen” yaitu pegunungan antara
“Tiga Lingga – Tiga Binanga” terpaksa di tunda perjalannya. Sekalipun
jumlah rombongan sebelas, tetapi tertinggal anak beru-nya Perangin-
angin mergana. Terpaksa di jemput lagi kearah asal atau memberi gantinya
sebagai “anak beru”.
Terpenuhilah syarat tadi , tiba mereka disuatu lokasi dan mendirikan
“KUTA LINGGA PAYUNG”. Sejak itu nama bukit barisan diantara Karo –
Dairi disebutkan oleh orang Karo “Deleng Kuh Sangkep”. Setiapa orang
Karo mesti dapat dimasukkan dalam salah satu diantara lima marga
tersebut diatas, sebab barang siapa yang yang tidak hendak memakai
indentitas demikian, tidak akan diakui sebagai “Kalak Karo” yang
dinamakan “nasap tapak nini”, misalnya, banyak dahulu terjadi orang
yang “tercela ahlaknya ” di desanya lalu merantau ke-negeri lain tanpa
mejunjujung tinggi merganya atau menggantinya, orang yang memeluk agama
Islam dengan menghilangkan indentitasnya itu seraya mengaku orang
Melayu kampung atau “kalak Maya- Maya” terutama di Karo Jahe ” dan
lain- lain .
Tetapi sebaliknya setelah terbentuk SUKU KARO, dahulu ada orang dari
suku lain sekalipun yang oleh sebab misalnya, mengadakan perkawinan
dengan orang Karo bisa diterima Bermerga atau memiliki Beru pada salah
satu merga diantara yang lima tersebut. “Merga” ialah indentitas pria
yang diturunkan terhadap putrinya akan dinamakan “beru”. Beru adalah
indentitas wanita yang diturunkan terhapa putra – putrinya umpamanya ,
beru Karo, diturunkan kepada putra putrinya dengan sebutan bere- bere
Karo.
Semua indentistas tersebut merupakan lambang suci yang dalam bahasa
Karo dinamakan “Tanda Kemuliaan” yang gunanya untuk menghitung berapa
tingkat keturunan telah berlangsung merga bersangkutan hingga dirinya
sendiri sejak dari nenek moyang yang dahulu berangkat dari negeri
asalnya ” yaitu (Barat) bagi keturunan Karo- Karo , Perangin- angin dan
Sembiring, sedangkan “Yuna” untuk Ginting serta Tarigan.
Hitungan jumlah tingkat keturunan itu dinamakan “Beligan Kesunduten
Nini Adi” yang dahulu turun temurun diceritakan sehingga tahulah
sesorang akan asal usul dan nenek moyangnya. Putra-Putri yang
seketurunan pantang mengadakan kawin mawin sesmanya, sebab
indetitasnyaq akan sama buat selama- lamanya, kendatipun dengan memakai
“Sub Merga”,yaitu “nama khusus ” yang diciptakan berdasarkan keluarga
tertentu dalam suatu desa dan atau sesuatu peristiwa dahulu yang
merupakan aliran darah khas pula ,namun harus tunduk kepada pokok merga
,Merga Silima.
Jadi orang Karo terbentuk dari bermacam- macam suku atau puak bangsa
yang oleh pengaruh lingkungan daerahnya membentuk watak, adat istiadat
dan masyrakatnya yang tertentu yang mempunyai perasamaan serta
perbedaaan dengan suku- suku bangsa Indonesia lainnya, namun bersifat
“mandiri” dalam arti sejak dahulu bebas merdeka mengatur
pemerintahannnya.
Akan tetapi karena Tanah karo merupakan daerah pedalaman yang tidak
akan dapat berswasembada dalam segala hal akan kebutuhan hidupnya, maka
terpaksa jugalah mereka mengadakan hubungan dengan “suku” atau
“bangsa lain” terutama mengenai bahan makanan seperti garam yang
disebut “Sira”
Mereka langsung menyebarkan penduduknya keluar batas dataran tinggi
karo yang berguna sebagai daerah pengubung dan penyangga serangan dari
luar yang menurut logat mereka dinamakan “Negeri Perlanja Sira Ras Pulu
Dagang ” yang kini daerah- daerah tersebut ialah Aceh Tenggara , Dairi,
Tapanuli Utara, Simalungun, Asahan, Deli Serdang, dan Langkat.
Pulu dagang ialah pedagang yang membeli garam dan lain lain di
pesisir seperti di Langkat, Deli Serdang, Asahan , dan Singkel yang di
angkut ke ‘Taneh Pengolihen – Tanah Karo ” oleh satu rombongan manusia
yang diberi nama julukan Perlanja Sira, meski ada juga mempergunakan
“Kuda Beban” sebagai alat pengangkutannya. Setiap rombongan perlanja
Sira dikawal oleh pasukan bersenjata, sebab waktu itu di Deleng Kuh
Sangkep (nama bukit barisan yang terletak di bagaian selatan Tanah
Karo) maupun di Deleng Merga Silima (nama Bukit Barisan dibagian
datyaran tinggi Karo) banyak penyamun serta binatang buas.
Untuk nmengenal kawan dipailah kata “sandi atau kode” di pegunungan
sebelah utara tanah Karo setiap berpapasan dengan rombongan manusia
lain diucapkan “Merga” yang kalu kawan menjawab..”Si Lima” yang
dilanjutkan dengan. Taneh Pengolihen yang dijawab teman “Karo Simalem”
bila mana tidak sesuai jawabnya dianggap “musuh”, demikian sekelumit
ceritanya maka nama pegunungan yang puncak- puncaknya antara lain
gunung Sinabung- Sibayak dinamakan orang Karo deleng Merga silima.
Sumber: Akun Facebook Ngajarsa Sinuraya Bre Bangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar